Andai Perokok Tidak Ditanggung Oleh JKN

Saat melihat info talkshow bertema “Selamatkan JKN dan Kelompok Miskin, Rokok Harus Mahal” dalam program radio Ruang Publik KBR, saya langsung teringat wacana yang saya dengar tahun lalu. Ada wacana agar para perokok tidak lagi ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)1.

Wacana tersebut bukan tanpa alasan. BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN terus mengalami defisit, dan mayoritas beban anggaran program JKN dikeluarkan untuk penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Dalam Pasal 25 Ayat 1 Poin j Perpres N. 19 Tahun 2016 disebutkan bahwa pelayanan kesehatan untuk gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat hobi yang membahayakan diri sendiri tidak dijamin oleh JKN2. Merokok sudah jelas menyakiti dan membahayakan diri sendiri dan gangguan kesehatan yang ditimbulkan banyak sekali macamnya, jadi merokok harusnya bisa dimasukkan ke dalam pasal tersebut.

Apa Jadinya Kalau Perokok Tidak Dijamin JKN?

Saat mendengar wacana tersebut, tanpa pikir panjang tentu saja saya setuju, saking bencinya sama asap rokok. Biar kapok deh para perokok itu, biar menyesal kalau nanti udah sakit-sakitan lalu ga ada biaya untuk berobat, biar yang belum sakit juga mikir-mikir lagi kalau masih mau merokok. Anggaran JKN tidak akan defisit lagi, dan sebagian dana bisa dialihkan untuk meningkatkan standar mutu pelayanan kesehatan di Indonesia.

Tapi kalau dipikirkan lebih jauh, andaikan pemerintah benar-benar menetapkan JKN tidak lagi menanggung para perokok, akibatnya bisa fatal. Terbayang akan terjadi minimal dua hal berikut:

  1. Angka kematian meningkat cepat
    Tanpa JKN, seorang perokok harus membiayai pengobatannya sendiri saat sakit. Untuk penyakit katastropik (seperti penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, dll.), biaya pengobatannya jelas sangat mahal. Segelintir perokok masih punya uang untuk membiayai, tapi sebagian besar justru dari kalangan kurang mampu. Yang kurang mampu itu harus bagaimana? Bisa-bisa cuma berpasrah diri dengan sakitnya dan menunggu ajalnya tiba. Lama-lama angka kematian akan meningkat dengan pesat.
  2. Konflik dalam negeri
    Urusan terkait rokok itu kompleks sekali dan pihak yang terkait sangat banyak. Bisa dibayangkan kalau pemerintah mengambil kebijakan seperti itu, akan timbul polemik berkepanjangan. Negara akan dinilai zalim karena membiarkan rakyatnya sakit tanpa bisa apa-apa hingga meninggal.

Mendengar talkshow KBR Rabu lalu, saya makin paham kenapa wacana di atas tidak mungkin direalisasikan. Bapak Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, yang menjadi salah satu narasumber di KBR saat itu dan merupakan Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) FKM UI, menyebutkan bahwa tiap rakyat dijamin punya hak atas kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia, juga termasuk unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai Pancasila dan UUD 1945. Kalau negara tidak memberikan hak kesehatan ini, berarti negara melanggar HAM dan UUD 1945.

Jadi, lupakan wacana di atas, hehe.

Lalu, bagaimana nasib JKN yang terus defisit karena rokok? Ngomong-ngomong, sebagian orang masih mempertanyakan hal ini lho:

Apa Iya JKN Defisit Karena Rokok?

Bukan karena salah kelola? Bukan karena dikorupsi? Eits, ga usah berspekulasi dulu kalau tidak punya datanya. 🙂 Ga usah bikin teori konspirasi juga, hehe. Prof. Hasbullah dan narasumber satu lagi, yakni Mbak Yurdhina Meilissa, Planing and Policy Specialist Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), banyak membeberkan data dan fakta yang ada.

Peserta JKN itu ada 2 kelompok, yakni PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan Bukan PBI. Kelompok PBI, iurannya dibayari oleh pemerintah. Sebaliknya, kelompok bukan PBI membayar sendiri iurannya sesuai kelas BPJS Kesehatannya.

Ternyata, 70% pasien BPJS itu memiliki riwayat merokok. Klaim untuk penyakit katastropik karena kebiasaan merokok itu sangat tinggi. Di Indonesia, perokok itu kebanyakan berasal dari kelompok miskin alias yang ekonominya kurang mampu. Mereka biasanya tergolong pekerja bukan penerima upah dan menjadi peserta BPJS mandiri kelas 3.

Pendapatan utama BPJS Kesehatan berasal dari iuran peserta. Kelas 3 itu iurannya yang paling rendah, yakni Rp25.500 per bulan. Kabarnya iuran kelas 3 itu seharusnya sebesar Rp53.000, tapi tidak ditetapkan segitu karena bakal berat buat sebagian besar masyarakat3. Selisihnya siapa yang nanggung? Ya BPJS. Jadi bisa dibayangkan ya, perokok itu banyak yang miskin → iuran BPJS-nya paling rendah → jumlah yang sakit banyak → klaim BPJS paling tinggi. Gimana BPJS ga tekor kan.

Kalau hal ini dibiarkan terus terjadi, ke depannya anggaran JKN akan semakin tidak memadai. Dan dana JKN yang terbatas tersebut justru terserap oleh mereka yang kecanduan rokok, karena penyakit yang seharusnya bisa dihindari dengan tidak merokok.

Bagaimana Kalau …

Apa yang bisa dilakukan agar JKN tidak defisit dan kelompok miskin tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak? Ada banyak sekali opsi, tapi sebagian sulit untuk dijalankan, seperti:

  1. Naikkan iuran JKN
    Pilihan ini bakal membebani rakyat, terutama dari keluarga kurang mampu. Dan ga adil juga dong ya buat orang-orang yang tidak merokok, karena harus bayar lebih buat membantu orang-orang yang sakit karena merokok.
  2. Kurangi manfaat JKN
    Idenya, misalnya penyakit jantung tidak ditanggung lagi oleh JKN. Klaim untuk penyakit jantung itu besar sekali, jadi kalau tidak ditanggung, JKN tidak perlu lagi mengeluarkan triliunan rupiah untuk itu. Namun ini tidak jadi pilihan. Bagaimanapun, warga punya hak untuk sehat dan pemerintah menjamin hal itu.
  3. JKN tidak menanggung penyakit karena rokok
    Idenya, para perokok tetap ditanggung JKN, tapi hanya untuk penyakit yang bukan karena rokok. Akan tetapi, sulit mengidentifikasi apakah penyebab penyakit itu murni 100% karena rokok. Bisa saja seseorang sakit jantung tapi penyebab utamanya bukan rokok. Tidak manusiawi juga ya rasanya kalau mereka “dihukum” seperti itu saat sakit.
  4. Perokok bayar iuran JKN lebih besar dibanding yang tidak merokok
    Ini memungkinkan dan bisa dilakukan. Hanya saja kalau begini sepertinya kelompok pekerja rendah akan merasa lebih berat untuk bayar iuran, dan bisa-bisa nantinya mereka beralih masuk ke kelompok PBI. Ujung-ujungnya negara lagi yang menanggung.

Duh, jadi gimana dong?

Selamatkan JKN dengan Menaikkan Harga Rokok

Coba ditelusuri lagi, pangkal penyebab JKN defisit itu apa sih? ROKOK! Nah, maka rokoklah yang harus dikendalikan.

Udah tahu kan kalau harga rokok di Indonesia itu murah banget? Harga sebungkus rokok rata-rata tidak sampai 20 ribu, dan masih bisa dibeli ketengan. Seribuan dapet deh sebatang rokok. Tidak heran kalau orang miskin banyak yang merokok, wong mereka bisa beli.

Miris sekali sih perokok miskin ini. Penghasilan mereka ga seberapa, tapi 22% pendapatan mingguannya justru dihabiskan untuk rokok. Analisis tahun 1997-2014 menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga di keluarga dengan bapak perokok diiringi dengan pengurangan konsumsi daging dan ikan. Artinya sumber gizi mereka berkurang, produktivitas menurun, dan tidak bisa keluar dari kemiskinan. Mereka makin miskin, sementara pengusaha rokok makin kaya. Orang miskin malah menyumbang untuk orang kaya. Ironi.

Lalu, apa solusi yang tepat untuk mengendalikan rokok sekaligus menyelamatkan JKN? Ada dua hal:

1. Naikkan Harga Rokok

Banyak negara yang sudah membuktikan bahwa dengan harga rokok yang mahal, konsumsi rokok menurun. Jumlah perokok tidak akan menurun drastis dalam waktu singkat, tapi mereka akan secara bertahap mengurangi jumlah rokok yang mereka isap.

Survei PKEKK FKM UI tahun 2016 menyatakan bahwa permintaan rokok di Indonesia sebenarnya dipengaruhi harga jual rokok itu sendiri. Jika harga rokok dinaikkan menjadi 50 ribu, ada kemungkinan jumlah perokok akan berkurang.

Yakin para perokok itu akan berhenti merokok kalau #rokok50ribu? Tentu tidak, namanya juga sudah kecanduan, sulit sekali dihentikan. Kalau mau berhenti merokok, memang harus ada tekad yang kuat dari si perokok itu sendiri.

Namun, sasaran utama kenaikan harga rokok itu adalah kepada:

  1. Anak-Anak. Dengan harga rokok yang mahal, anak-anak tidak akan mampu lagi membeli rokok dengan uang jajan mereka. Anak-anak itu tidak akan mencoba rokok. Kita bisa mencegah munculnya perokok pemula dan harapannya nanti mereka tidak akan jadi perokok.
  2. Kelompok Miskin. Rokok 50 ribu akan jadi tidak terjangkau untuk kelompok ekonomi bawah. Dengan harga segitu, mereka akan berpikir ulang untuk membeli rokok. Apa iya masih mau beli rokok tapi jadi susah makan?

Jadi kapan nih harga rokok bakal jadi 50 ribu? Akankah cuma jadi #wacanaforever?

Penetapan harga rokok terkait dengan banyak pihak. Belum lagi industri rokok yang pasti ga mau kalau pembeli rokoknya berkurang. Pemerintah masih belum cukup dapat tekanan dari masyarakat. Oleh karena itu, kita perlu mendorong pemerintah untuk berani dan segera menaikkan harga rokok, minimal 50 ribu per bungkus.

Caranya? Mari kita kampanyekan pengendalian tembakau dengan #rokokharusmahal #rokok50ribu #rokokmemiskinkan. Ada petisinya juga lho di change.org/rokokharusmahal. Gampang banget kan diingat link-nya. Saya sudah tandatangani petisinya, ikutan juga yuk!

2. Alokasikan Cukai Rokok untuk Kesehatan

Harga rokok bisa jadi mahal dengan menaikkan cukai rokok. Peraturan di Indonesia saat ini, cukai rokok itu tidak bisa lebih dari 57%, padahal di negara lain minimal 60% lho. Dengan begitu, kalau pun cukai rokok dinaikkan, sekarang cuma bisa naik sekitar 12-13%. Dalam implementasinya, berarti harga rokok naik sekitar 100-150 rupiah per batang. Wah masih kecil banget ya kenaikannya. Semoga aturan itu bisa direvisi dan cukai rokok makin besar lagi.

Dengan cukai rokok yang lebih besar, dananya bisa dialokasikan ke sektor kesehatan. Tidak hanya untuk menambal anggaran JKN, tapi juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Lho, berarti cukai rokok bermanfaat dong, kenapa masih menentang rokok? Masalahnya, beban biaya yang dikeluarkan karena rokok justru 3,5-4 kali lebih banyak dibanding penerimaan negara dari cukai rokok. Jadi ya negara tetap rugi.

Belum lagi efek jangka panjang ke depannya yang mungkin ga pernah kepikiran oleh perokok. Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI telah meneliti dampak perilaku merokok orang tua pada stunting4. Mereka mengamati berat badan dan tinggi anak pada 2007 dan kemudian melacak mereka pada 2014 secara berurutan. Hasilnya, anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan orang tua perokok cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dalam berat dan tinggi dibandingkan mereka yang ditinggal di rumah tanpa orang tua perokok.

Sudah banyak sekali dampak negatif rokok dan sekarang nambah lagi: orang tua perokok ternyata juga mempengaruhi pertumbuhan anak-anaknya. Stunting menyebabkan kekerdilan. Masih mending ya kalau cuma kerdil secara fisik, masalahnya otak mereka pun jadi kerdil. Akibatnya kecerdasan anak-anak ini berkurang, kemampuan belajar menurun, mereka akan menjadi generasi yang kurang kompetitif, dan malah jadi beban negara. Bisa-bisa Generasi Emas tahun 2045 nanti akan berubah menjadi Generasi Cemas. Kok jadi suram ya rasanya masa depan bangsa ini. 😞

Dua hal di atas adalah win-win solution untuk menyelamatkan JKN dan kelompok miskin. Efek jangka panjang rokok sangat berbahaya, bahkan dibanding ganja karena ganja ilegal dan sulit didapat.

Upaya untuk menjauhkan rokok dari sekitar kita masih banyak. Kita tidak bisa menyerahkan semuanya kepada pemerintah. Di Indonesia sudah ada lho aturan untuk mengendalikan rokok, coba cek PP No. 109 Tahun 2012 deh5. Hanya saja implementasinya masih jauh dari harapan. Pemerintah harus menegakkan peraturan, tapi masyarakat juga harus turut serta mengawasi.

Sudah ada aturannya, tinggal dijalankan. (Sumber: Okezone)

Jadi, yuk kita dukung #rokokharusmahal #rokok50ribu #rokokmemiskinkan.

REFERENSI

  1. IDI sarankan JKN tak jamin perokok
  2. Peraturan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan
  3. Pajak Dosa JKN
  4. PKJS UI : Konsumsi Rokok Akibatkan Anak Stunting
  5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan
Artikel ini diikutkan dalam Serial Lomba Blogger #RokokHarusMahal Episode 5 yang diselenggarakan oleh KBR.id

Salam,

Reisha Humaira

3 komentar pada “Andai Perokok Tidak Ditanggung Oleh JKN

  • 30 Juni 2018 pada 04:39
    Permalink

    Berharap segera terealisasi memahalkan rokok! Aku sedikit pesimis sih mbak, setinggi apapun harga rokok, mereka2 yang sudah candu rokok akan mencari 1001 jalan agar tetap mengisap rokok. Kecuali sudah di vonis mati barulah mereka stop rokok -_-.
    Aku berharap rokok dihapuskan! hahahhaa.. karena asap rokok bikin kambuh vertigo dalam sekejap. Tapi ga bisa juga, karena rokok salah satu penyumbang devisa negara terbesar! huhuhu

    Balas
  • 30 Juni 2018 pada 19:57
    Permalink

    Rokok ini persoalan compllicated tapi aku juga gak suka asepnya hehehe

    Balas

Leave your comment