Sudah Lolos Seleksi Beasiswa Luar Negeri? Jangan Terlalu Senang Dulu..
Judulnya kayak nakut-nakutin ya, huehe. Tapi emang sih isinya bakal rada suram, hihi.
Dulu kepikiran nulis ini karena setelah suami dapat pengumuman bahwa dirinya lolos seleksi New Zealand Scholarship, proses selanjutnya pun tidak berjalan semulus yang dikira. Detailnya nanti di bawah ya. Ditambah lagi dengan sejumlah cerita yang suami dengar, bahwa yang sudah terpilih jadi Preferred Candidate pun ada yang akhirnya tidak jadi berangkat karena berbagai hal.
Kalau tidak jadi berangkat karena lebih memilih beasiswa lain misalnya, itu lain soal ya. Soalnya kan itu memang atas keinginan sendiri. Ini tu cerita-cerita tentang unfortunate event buat orang-orang yang sudah lolos seleksi dan memang pengen kuliah, tapi akhirnya tidak jadi berangkat. Oleh karena itu, seperti tertulis di judul, setelah dapat kabar jadi kandidat penerima beasiswa, ada baiknya jangan kelewat senang dulu, perjalanan masih panjang.
Daftar Isi Tulisan Ini
Tidak Dapat Letter of Acceptance (LoA)
Sebagian beasiswa mensyaratkan adanya LoA dari awal pendaftaran. Sebagian lagi tidak perlu ada dari awal, tapi bakal disuruh cari setelah lolos seleksi. Nah yang kedua ini yang saya alami saat seleksi beasiswa Monbukagakusho (MEXT) dan suami alami dengan New Zealand Scholarship.
Setelah dinyatakan lulus seleksi, kita diminta untuk mendapatkan LoA dari kampus yang ingin kita tuju. Untuk mencari LoA ini ada yang dibantu penyedia beasiswa, ada juga yang mesti cari sendiri. Beda-beda sih. Tapi intinya mah siap-siap aja kudu cari sendiri.
Proses mendapatkan LoA pun macam-macam. Ada yang “cuma” butuh kirim sejumlah dokumen via email, ada yang kudu dikirim dokumen fisiknya, ada juga yang dites dulu sama kampus atau profesornya. Jadi lolos seleksi beasiswa pun bukan jaminan kita bakal dengan mudah dapat LoA. Syukur kalau kampus atau profesornya cepat merespon, kadang ada juga yang responnya lama, atau malah tidak merespon sama sekali.
Dan tentu saja ada batas waktu untuk menyerahkan LoA ini. Beasiswa LPDP terakhir saya denger ngasih batas waktu 1 tahun untuk mendapatkan LoA. Itu lumayan banget lho lamanya. Beasiswa lain kebanyakan hanya dalam hitungan bulan. Kalau tidak dapat LoA, ya akhirnya gugur alias tidak jadi berangkat. Soalnya mau kuliah di mana toh wong ga ada LoA-nya. Di angkatan beasiswa MEXT saya dulu, denger-denger ada tidak jadi berangkat karena tak kunjung dapat LoA ini.
Tidak Jadi Diberi Beasiswa
Kalau cerita ini dulu saya dengar dari suami. Apes banget memang. Jadi ada kandidat New Zealand Scholarship dari Indonesia, udah lolos seleksi dan siap-siap berangkat. Lalu belakangan diketahui ternyata dulunya dia bekerja di luar Indonesia, sehingga akhirnya dia dinyatakan gugur.
Lho, hubungannya apa?
Jadi untuk bisa daftar New Zealand Scholarship itu harus sudah punya pengalaman kerja dan tinggal di Indonesia minimal 2 tahun terakhir. Tapi belakangan diketahui ternyata si kandidat ini kerjanya di luar negeri, jadi dia ga eligible untuk beasiswa. Bingung juga sih kok ga tereliminasi dari awal seleksi ya. Mungkin di awal seleksi dia beruntung, tapi di akhir ya gitu deh, heuheu.
Tidak Dapat Visa
Untuk kuliah di luar negeri, kita butuh visa pelajar. Kalau tidak dapat visanya ya berarti tidak bisa studi di negara yang dituju.
Dulu kami penerima beasiswa MEXT sih enak banget. Karena seleksinya di Kedubes Jepang, setelah seleksi kami ga perlu mikirin visa. Kami cuma diminta menyerahkan paspor dan foto ke Kedubes Jepang, lalu tinggal tunggu, visa pun jadi.
Sebaliknya suami harus urus sendiri visanya. Di tahap ini suami sempat panik.
Ceritanya setelah lolos seleksi, suami segera mencari LoA. Duluuu jauh sebelum daftar beasiswa, suami sudah pernah mengontak kampusnya dan dapat LoA. Tapi untuk beasiswa ternyata LoA ini harus diurus ulang karena LoA-nya harus dikirim langsung oleh kampus ke penyedia beasiswa. LoA yang dulu didapat suami adalah untuk S2 dengan program selama 1 tahun, sebut saja versi 1. Tapi setelah dicek lagi kurikulumnya, suami pengen ganti ke yang programnya 1.5 tahun. Oleh kampus dibilang masih memungkinkan, jadi diganti deh LoA-nya, sebut saja versi 1.5.
Setelah itu suami dikirimi Scholarship Offer Letter (SOL), tapi di SOL itu tertulis bahwa durasi beasiswanya hanya untuk 1 tahun. Weleh, gimana caranya mau kuliah 1.5 tahun tapi beasiswa cuma 1 tahun. Padahal New Zealand Scholarship ini mestinya bisa menanggung beasiswa kuliah hingga 2 tahun. Setelah ditelusuri, ternyata pihak kampus salah ngasih LoA-nya, yang dikirim malah yang versi 1. Jadilah suami kudu urusin dulu biar SOL-nya di-update jadi 1.5 tahun.
Di samping urusan LoA dan SOL ini, suami juga mesti secepatnya urus visa. Tapi visanya belum bisa diurus kalau SOL belum fix ye kan. Nungguin SOL yang baru ini juga lama, sehingga suami baru bisa apply visa itu akhir Desember 2018.
Ya namanya akhir tahun, ada libur Natal dan Tahun baru juga di imigrasi NZ-nya, sehingga proses visanya kepotong sekian hari libur. Ditunggu-tunggu ga ada kabar juga padahal waktu terus berjalan. Hingga suami dapat warning dari kampus bahwa visanya sudah harus jadi akhir Januari 2019. Kalau ga jadi juga ga tahu deh, entah ditunda keberangkatannya atau ga jadi berangkat sama sekali. Gemes banget, udah dapet beasiswa pun masih ada aja ya tantangannya, heuheu. Setelah kontak sana-sini, nelepon imigrasi NZ berulang kali, akhirnya visa suami keluar juga sebelum Januari berakhir. Alhamdulillah.
Suami saya masih beruntung. Denger-denger ada juga yang pernah tidak jadi berangkat karena tidak dapat visa. Penyebabnya karena tidak lolos medical check up. Untuk apply visa NZ itu harus ada medical check up di RS yang ditunjuk. Sedih, apalagi katanya si kandidat apply visa bareng keluarganya, keluarganya dapet visa, dianya sendiri tidak dapat visa.
Keberangkatan Ditunda
Owkeh segitu aja cerita suram dari yang akhirnya tidak bisa berangkat. Kali ini yang tetap bisa berangkat tapi harus ditunda, hehe.
Contoh nyata yang saya tahu itu Mba Ume yang punya ig @baby.qianna. Mba Ume itu dulu penerima New Zealand Scholarship juga. Dia lolos seleksi beasiswa bulan Desember 2015, seharusnya sudah mulai kuliah Februari 2016. Tapi karena bulan Januari dia baru melahirkan, jadi kuliahnya ditunda selama 1 tahun, baru mulai kuliah Februari 2017.
Untuk kasus Mba Ume sih alhamdulillah banget ya bisa ditunda berangkatnya, jadi waktu 1 tahun itu bisa digunakan untuk mengurus anak dulu. Tapi belum tentu OK juga untuk orang lain.
Kayak suami saya dulu saat di-warning soal visa itu, kalaupun ditunda berangkatnya, suami ga kebayang mau gimana selama masa menunggu. Yang lain mungkin udah ada yang resign duluan, kalau ditunda belum tentu bisa minta balik kerja lagi. Dan sebagainya.
Perjuangan Baru Saja Akan Dimulai
Demikianlah dengan berbagai suka duka yang dilalui selama berburu beasiswa, alhamdulillah akhirnya berangkat juga, jadi kuliah juga. Dari berbagai cerita di atas, kami mikir bahwa kita baru fix jadi kuliah di luar negeri itu kalau tiket dan visa sudah di tangan, hehe. Kalau belum, mending ga usah terlalu senang dan umbar kebahagiaan di sana-sini, huehe.
Lalu setelah memang fix kuliahnya, camkan ke diri sendiri bahwa perjuangan yang sesungguhnya baru aja mau dimulai. Lolos seleksi beasiswa bukanlah akhir dari semuanya, tapi baru awal dari tantangan yang lebih berat lagi.
Kuliah di luar negeri itu jangan cuma bayangin yang enak-enaknya aja; bisa jalan-jalan ke sana-sini, bisa merasakan tinggal di negara maju, bisa merasakan empat musim, dll. Kuliah di luar negeri tidak sama dengan di Indonesia, kulturnya beda, gaya belajarnya beda. Belum lagi di Indonesia biasanya gampang dapat apa-apa, dimanjakan dengan segala layanan yang memudahkan, di luar negeri belum tentu. Kalaupun ada, ya biayanya mahal, padahal beasiswa juga terbatas. Jangan kaget juga ada yang depresi hingga bunuh diri saat kuliah di luar negeri. (haduh nakut-nakutin lagi #ampunisaya ^^v).
—
Jadiiii, apa inti tulisan ini? Apa ya? Wkwk. Mau berbagi cerita aja sih. Buat gambaran bahwa senang boleh, tapi berlebihan jangan, apalagi sampai sombong dan takabur, hehe. Semangat selalu buat para pencari beasiswa.
Salam,
Ngangguk ngangguk tanda setuju … mau kuliah itu ga segampang posting foto instagramable di IG wkwkwkwk … suamiku baru ijin nulis kisah s2 dan s3 dia kl dah lulus ceunah … hmmmmm hmmmmmm hmmmmm #alasabyan
Begitulah jeng, di medsos yang dilihat yang hepi-hepinya aja, haha.
Kak, mgkn bisa berbagi pengalaman pas suami ikut tes nzas, ketika lolos wawancara dan tes ielts, kandidat yg gak lolos karena fakto apa? Apakah semata-mata karena faktor ielts atau ada yg lain?
Halo Kevin. Kalo ditanya alasan ga lolos, ga tahu juga ya persisnya apa. Panitia seleksinya yang lebih tahu, hehe. Kalau kita tanya ke kandidat yang ga lulus, pasti subjektif jawabannya karena itu masalah persepsi. Kesimpulan paling gampang berarti kandidat tsb ga align dengan objective scholarship-nya, atau ada kandidat lain yang lebih meyakinkan. Skor IELTS sepertinya mempengaruhi, kalau misalkan nilainya terlampau jauh dari requirement. Rata-rata butuh skor IELTS >6.5 dan nilai terendah 5.5.