Diari Kehamilan Pertama: Ternyata Hamil
Ini masih lanjutan dari kisah pap smear saya dan balada minum obat selama beberapa minggu itu.
Baca juga: Medical Check Up dan Pap Smear Pertama (2)
Dari judulnya, sudah bisa ditebak ya tulisan kali ini intinya apa, hehe. Alhamdulillah saya hamil :), tapi ga gampang juga buat saya rasanya saat tahu pertama kali. Perasaan saya campur aduk banget, mayoritas khawatir dan takut. Kisah hamil ibu-ibu lain kebanyakan punya skenario: ada feeling kalau hamil → coba test pack → hasil test pack positif → ke dokter untuk memastikan. Di saya: ga merasa hamil, malah yakin akan segera haid → ke dokter untuk konsultasi soal haid → ternyata hamil.
Daftar Isi Tulisan Ini
Setelah Obat-Obatan itu Habis
Saat kunjungan saya ke dr. S tanggal 18 Oktober 2014, saya diberi Norelut untuk memperlancar haid, serta bisa mulai minum antibiotik Siclidon 100 untuk mengatasi radang. Saat itu payudara saya udah mulai agak sensitif, suatu tanda selama ini kalau saya akan segera haid. Feeling saya, sebelum si Norelut habis saya bakal haid. Kalaupun si Norelut keburu habis, pokoknya saya yakin saya bakal segera haid, wong udah dikasih obat untuk melancarkan haid. Kalau saya sudah haid lagi, saya ga perlu lagi jauh-jauh ke RS Pertamina untuk konsultasi dengan dokter.
Tanggal 1 November 2014, antibiotik saya habis. Norelut sudah lebih dulu habis karena cuma diminum selama 4-5 hari. Dan saya masih belum haid juga, artinya mesti balik lagi ke RS, fyuh. Dalam pikiran saya, mungkin beberapa hari lagi haidnya baru datang.
Antara Kantor Imigrasi dan Rumah Sakit
Akhir 2014 paspor saya akan expired, jadi saya harus segera memperpanjang paspor. Karena kantor imigrasi Balikpapan itu tidak begitu jauh dari RS Pertamina, saya berencana untuk ke RS Pertamina serta mengurus perpanjangan paspor di hari yang sama, biar sekalian aja perginya. Jauh soalnya dan saya mesti pergi sendiri karena suami kerja.
Awalnya saya berencana pergi tanggal 4 November 2014. Hari sebelumnya akan saya gunakan untuk mengurus beberapa berkas serta membayar biaya perpanjangan paspor ke bank. Kenyataannya tanggal 3 November 2014 saya lemes seharian, ga bisa ngapa-ngapain. Jadi rencana saya pun diundur sehari.
Tanggal 5 November 2014 saya pun berangkat. Niat awal sih mau pergi pagi-pagi banget, ke kantor imigrasi dulu. Setelah beres, lanjut ke RS Pertamina karena dr. S jadwal praktiknya jam 12.00-15.00. Kenyataannya saya baru berangkat sekitar jam 9 dari rumah, haha. Sampai di imigrasi sekitar jam 10 dan antreannya cukup panjang. Kantor imigrasi istirahat jam 12 dan saat itu saya masih mesti antre lagi untuk foto dan wawancara, heuu. Karena istirahatnya cukup lama, saya putuskan untuk ke RS Pertamina dulu aja. Perkiraan saya, saya baru bakal dipanggil di imigrasi setelah jam 14.00.
Di RS Pertamina saya langsung daftar lalu antre untuk ke dr. S. Ada sejumlah pasien lain yang sudah lebih dulu mendaftar, jadi saya mesti menunggu. Rata-rata mau memeriksakan kehamilannya. Cukup lama saya menunggu, padahal pengennya cepet aja soalnya saya mesti segera kembali ke kantor imigrasi.
Saya masih ingat saat itu, ada satu ibu-ibu konsultasi dengan dr. S. Kelihatannya dr. S ramah banget soalnya kedengaran ngobrol dengan ibu itu sambil ketawa-ketawa. Ibu tsb sedang hamil anak ketiga, mukanya bahagia sekali. Sungguh saya merasa iri saat itu dan berucap dalam hati “Ya Allah, ibu ini sudah hamil ketiga, bahagia banget, saya kapan bisa ngerasain kebahagiaan seperti itu?”. Galau lagi deh.
Akhirnya tiba juga giliran saya konsultasi.
Saya: Dok, obatnya semuanya sudah habis. Tapi saya masih belum haid juga sampai sekarang.
dr. S: Hmm. Kok lama betul ya. Hamil kali?
Saya: Ga tahu juga sih dok, saya belum pernah ngecek lagi.
dr. S: Ya udah, USG yuk.
Kali ini dr. S terasa lebih ramah. Mungkin karena hepi banget ngobrol dengan ibu-ibu yang tadi. Saya pun di-USG lagi. Baru saja dr. S memulai USG-nya, di layar saya lihat ada lingkaran kecil, biasanya ga pernah ada. Saya masih loading melihat layar USG tsb saat dr. S ngomong, “iya, hamil, sudah 5 minggu, HPL-nya 7 Juli 2015”. Semuanya terasa begitu cepat, sementara saya masih bengong serta antara percaya dan tidak percaya. Itu USG luar aja padahal, bukan USG transvaginal.
Pikiran saya masih campur aduk dengan antibiotik yang ternyata saya habiskan saat saya hamil, antrean di kantor imigrasi yang masih menunggu, serta berita kehamilan yang saya ga tahu mesti gimana menyikapinya. dr. S bilang saya mesti banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung asam folat.
Saya: Itu bisa didapat dari mana dok? Apa saya mesti minum susu khusus ibu hamil?
dr. S: Dari susu bisa. Tapi dari saya juga ada suplemen.
Cuma satu pertanyaan itu yang saya tanyakan ke dr. S, saking bingungnya. Bodohnya, ga nanyain soal antibiotik. Lalu dr. S menyuruh saya kontrol 2 minggu lagi untuk melihat perkembangan janinnya. Saya diberi suplemen Folda. Saat itu, di usia 5 minggu, yang terlihat masih berupa kantong kehamilan. Saat usia 7 minggu katanya bentuk janinnya akan sudah kelihatan seperti bayi.
Selesai dari RS Pertamina, saya kembali ke kantor imigrasi. Di angkot menuju kantor imigrasi, saya mencoba menata pikiran saya. Jelas saya mesti bersyukur atas kehamilan ini. Tapi pikiran saya tak kunjung tenang.
Penghitungan Usia Kehamilan dan Hari Perkiraan Lahir
Pada perempuan dengan siklus haid yang teratur, usia kehamilan bisa dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Gampangnya bisa gunakan kalkulator kehamilan yang beredar di internet, yang biasanya akan meminta input kapan HPHT dan berapa lama siklus haidnya.
Tapi saya bingung bagaimana perhitungannya untuk perempuan yang haidnya tidak teratur seperti saya. Kalau pakai kalkulator kehamilan ga tau mau masukin angka siklus haidnya berapa. Saya coba ganti-ganti angka siklusnya, hasil perhitungannya juga beda-beda.
Dalam kasus saya, HPHT saya 5 September 2014. Kalau mengacu pada HPHT dan siklus haid normal, saat saya ketahuan hamil itu artinya usia kandungan saya sudah sekitar 8 minggu. Di usia segitu mestinya janin sudah kelihatan berbentuk, sementara USG saya menunjukkan yang di rahim saya masih berupa kantong kehamilan.
Kebingungan itu akhirnya terjawab. Alat USG ternyata bisa menghitung secara otomatis berapa usia kandungannya dan kapan hari perkiraan lahir (HPL)-nya. Sepertinya dihitung dari ukuran kantong kehamilan atau janinnya. Saya merasa alat USG itu sakti sekali saat itu, haha. Dan alat USG memperkirakan usia kehamilan saya 5W1D ± 9D, ukuran kantong kehamilan (GS) saya saat itu 17.2 mm. Hasil perhitungan ini beda banget dengan kalau mengacu pada HPHT saya.
Pulang ke Rumah dan Kisah Test Pack
Setelah urusan perpanjangan paspor beres, saya pun langsung pulang ke rumah. Pengen banget rasanya segera sampai di rumah sehingga bisa lebih leluasa menumpahkan segala perasaan yang saya rasakan *halah*.
Di satu sisi saya bersyukur dan bahagia, akhirnya diberi amanah itu. Di sisi lain, saya khawatir dan takut banget dengan antibiotik yang saya minum selama 2 minggu itu, apalagi antibiotiknya sepertinya berpengaruh pada kehamilan. Kalau nanti anak saya kenapa-kenapa gimana? Huaa. Jadi nangis sendiri. Diingat-ingat, waktu USG tanggal 18 Oktober 2014 dr. S bilang saya tidak hamil, mungkin karena saat itu memang belum kelihatan apa-apa dengan USG luar. Ada perasaan menyesal, andai saya mengambil hasil pap smear-nya lebih cepat, andai saya tidak minum antibiotiknya. Tapi sesal kemudian toh tiada gunanya. Setelah shalat saya berdoa terus agar janin saya dijauhkan dari pengaruh antibiotik itu.
Suami saya masih belum pulang kerja saat itu. Saya memutuskan untuk memberitahukannya nanti saja saat suami sudah pulang, biar tatap muka langsung.
Sembari menunggu suami pulang, saya teringat saya masih punya sisa satu buah test pack. Test pack ini sebelumnya tidak saya pakai karena saya sudah males dan merasa percuma aja, mikirnya paling nanti hasilnya negatif lagi. Dan sekarang kenyataannya saya sudah lebih duluan tahu dari dokter Sp. OG dan hasil USG bahwa saya positif hamil.
Demi mencoba gimana rasanya melihat test pack bergaris dua, akhirnya test pack tersebut saya pakai saja, haha. Dan memang benar, sekarang garisnya ada dua *ya iyalah*, tidak seperti sebelum-sebelumnya yang selalu bergaris satu. Ternyata rasanya biasa saja *ya iyalah, soalnya udah tahu hasilnya bakal positif :P*.
Setelah suami pulang, akhirnya saya cerita. Seperti halnya saya, di satu sisi suami juga senang dan bersyukur. Di sisi lain, suami pun juga kepikiran dengan antibiotik tersebut. Saya jadi galau dan nangis lagi, huhu. Suami pun menenangkan saya. Katanya, hal tersebut sudah lewat dan kita tidak bisa mengubahnya. Yang bisa saya lakukan sekarang adalah menjaga kesehatan untuk ke depannya, banyak-banyak minum air putih biar sisa-sisa obatnya segera bisa dibuang dari tubuh. Juga jaga pikiran saya, kalau saya galau dan sedih terus nanti malah buruk efeknya ke kandungan saya. Huhu. Terima kasih Uda. Saya pun menguatkan diri saya kalau nanti kemungkinan terburuk terjadi, apapun itu. Yang jelas saya bakal senantiasa berdoa agar ia tumbuh dengan baik, sehat, dan tak kurang satu apapun. Aamiin.
Salam,
