“Udah Isi?”

Menjadi orang Indonesia agaknya cukup susah untuk menghindari dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang justru terasa merongrong kehidupan *halah*. Di tahun terakhir kuliah, dihadapi dengan pertanyaan “kapan lulus/wisuda?”. Udah lulus kuliah, pertanyaan diganti jadi “kerja di mana?”. Udah kerja atau umurnya dirasa sudah saatnya menikah, ditanyai “kapan nikah?”. Udah nikah, saatnya dihadang pertanyaan “udah isi?”. -_-

Baca juga: 9-Jan-2014: Akad Nikah

Sebuah Basa-Basi

Sejak kapan ya pertanyaan “udah isi?” ini jadi tren pertanyaan basa-basi kalau ketemu pasangan yang sudah menikah? Heuu. Dulu di awal-awal pernikahan cukup sering menemui pertanyaan ini. Mau ketemu langsung, mau via chat, pertanyaan basa-basinya selalu itu. Kadang saya merasa ada untungnya juga kami merantau dan cukup jauh dari keluarga dan teman-teman, karena jadi jarang ketemu dan jarang diteror pertanyaan tersebut, hihi.

Sebelum menikah, kami memang sudah berencana untuk tidak langsung punya anak. Mau menikmati masa-masa berdua dulu. Selain itu kami rasanya juga belum siap kalau baru menikah terus saya langsung hamil. Pengennya hamilnya paling cepat setelah 6 bulan menikah. Tapi supaya ga langsung punya anak, kami pakai cara alami aja kok, ga pakai alat kontrasepsi aneh-aneh apalagi minum obat KB, karena ga mau juga kalau nantinya malah jadi lebih susah untuk punya anak.

Dengan plan tersebut, saat awal-awal menikah, kalau ditanyain “udah isi?” biasanya masih bisa saya jawab dengan ringan, “santai lah, masih baru-baru ini”. Anggap aja itu pertanyaan untuk goda-godain pengantin baru. Tapi kalau keseringan jadi gerah juga sih, haha.

Alhamdulillah juga pertanyaan yang saya hadapi masih pada level basa-basi biasa, bukan yang sampai bikin jleb lalu sedih banget. Pernah baca blog orang lain soalnya, dan pertanyaannya itu bikin sedih banget, kayak “kok masih belum hamil, kalian bisa bikinnya ga sih sebenarnya?”. Wew. Mungkin maksudnya becanda, tapi mbok ya dijaga kata-katanya. Hati-hati lho ngomongin urusan hamil ini walaupun niatnya becanda atau basa-basi aja.

Dari Sisi Keluarga

Keluarga saya juga dulu sering nanya. Dan mereka punya style sendiri. Pertanyaannya, “udah suka kedondong belum?”. Kedondong → asam → ngidam → hamil, begitu korelasinya -_-”. Pertanyaan basa-basi juga untungnya, karena saya ga merasa bahwa keluarga saya “mendesak” agar saya segera hamil. Mama saya dulu hamil pertama kali setelah 6 bulan menikah. Adik mama saya juga ada yang baru hamil setelah 1 tahun menikah. Jadi dalam range 1 tahun masih bisa maklum lah kalau belum hamil juga. Lagi pula dengan kondisi saya yang sering ditinggal suami kerja ke lapangan, bisa jadi pembelaan juga kok masih belum hamil, hihi.

Pernah juga sih mama saya khawatir. Waktu itu kalau ga salah bulan Oktober 2014 (artinya saya sudah 9 bulan menikah dan masih belum hamil). Mama saya nelpon dan menyarankan agar nanti saya diurut kalau saya pulang kampung. Katanya ada tukang urut yang sudah terbukti melancarkan proses kehamilan sejumlah orang yang dikenal mama saya. Ada yang misalnya waktu diurut, kata tukang urutnya posisi rahimnya ga pas, jadi dibenerin posisinya, lalu ga lama kemudian orang tersebut hamil. Saya ga paham juga sih ya urusan kayak gitu. Tapi yaa saya bilang aja oke, nanti dicoba kalau saya pulang kampung walau ga tahu juga bisa pulang kampung kapan. 😛

Ada Masanya Galau

Bohong kalau saya bilang saya ga pernah galau kalau lihat teman ternyata sudah hamil lebih dulu daripada saya. Apalagi kalau si teman nikahnya beberapa bulan setelah saya menikah, trus udah hamil aja, dan lalu saya galau. Atau kalau liat temen yang sudah punya anak, sedang hamil anak kedua, dan lagi saya galau. Dan galaunya juga pernah sebelum 6 bulan menikah, padahal dengan plan awal kami harusnya santai aja ya kalau 6 bulan menikah masih belum hamil juga.

Saya sempat beberapa kali mencoba pakai test pack, ga ngitung juga persisnya pernah beli berapa biji :P. Ada yang emang iseng nyobain aja, ada juga yang nyoba karena penasaran karena udah cukup lama ga haid juga dan rasanya badan agak ga enakeun. Tapi waktu nungguin hasil test pack-nya sih biasanya ga terlalu berharap banyak juga. Dan si garis dua ga muncul-muncul. Ya sudah lah ya.

Kalau masih galau tingkat rendah, biasanya saya ingat lagi aja bahwasanya memang dari awal kami belum pengen punya anak secepatnya. Tenang aja, nanti insya Allah  bakal dikasih di saat yang tepat. Orang lain juga masih banyak yang belum punya anak. Kalau Allah belum ngasih, ya mungkin Allah melihat kitanya memang belum siap dan artinya kita diberi waktu lebih untuk mempersiapkan diri.

Kalau udah galau tingkat tinggi, saya biasanya nangis sendiri. Ditambah dengan punya kondisi oligomenorrhea (haid tidak teratur), saya kadang khawatir banget kalau itu berpengaruh ke kesuburan saya, hingga saya takut kalau-kalau kami nanti tidak bisa punya anak karena masalahnya ada di saya. Dalam kondisi seperti itu, alhamdulillah suami bisa menenangkan saya. Ia kembali mengingatkan saya untuk tenang, sabar, dan ga perlu takut. Ia bahkan juga bilang ke saya, kalau nanti kenyataannya emang susah punya anak, perasaannya ke saya ga akan berubah. Hiks, terharu lalu malah tambah mewek :’).

Baca juga: Persiapan Pernikahan E♡R: Melakukan Premarital Check Up di Santosa Hospital Bandung

Duh, diingat-ingat lagi, lebay sekali rasanya. Apalah artinya kegalauan itu dibanding dengan perasaan orang lain yang sudah bertahun-tahun menikah dan benar-benar mendambakan anak, tapi belum dikasih rezeki tersebut sama Allah. Saya selalu salut sama mereka, dan mereka turut mengingatkan saya untuk tidak berlarut-larut galau dan khawatir berlebihan.

Anak itu memang rezeki dari Yang Di Atas. Untuk menjemput rezeki, yang bisa kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin, terus berdoa, sisanya tawakkal sama Allah. Percaya aja Allah bakal ngasih sesuatu di saat yang tepat dan Allah tau apa yang terbaik buat kita. 🙂

Salam,

Reisha Humaira

Leave your comment