Idul Fitri 1439 H (2018) di Baso-Padang

Setelah tahun lalu ga mudik Lebaran, tahun ini kami putuskan untuk mudik agar bisa merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Mudik kali ini lebih singkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena kami cuma mudik selama 1 minggu, huhu. Dan 1 minggu itu juga mesti dibagi untuk kumpul dengan keluarga saya di Baso serta dengan keluarga suami di Padang. Apa daya ya, sekarang status saya sudah bekerja, jadi terikat dengan jadwal masuk kantor, heuheu.

Baca juga: Idul Fitri 1438 H (2017) di Bandung

Berikut highlight Lebaran kami di tahun ini.

Tiket Mudik yang Mahal

Tahun ini kami mesti bayar tiket mudik untuk 3 orang, karena Akas sudah mesti bayar full. Dari zaman dahulu kala, entah kenapa tiket pesawat ke Padang itu mahal sekali dibanding ke kota lain. Harga tiketnya bisa 2x lipat harga tiket di hari biasa, bahkan lebih. Jadilah total biaya tiket pesawat pulang-pergi kami bertiga kayaknya cukup untuk beli sebuah motor, huhu.

Bicara tiket mahal, biasanya akan ada yang bilang “makanya pesan tiket dari jauh-jauh hari”. No no no, ga berlaku buat ke Padang, karena kalau tiketnya dibeli tahun sebelumnya pun, harganya bakal segitu juga.

Kami beli tiket pesawat untuk penerbangan Bandung-Padang, dibeli awal Ramadhan, alhamdulillah masih dapat. Telat sedikit aja kami curiga tiketnya keburu habis. Kalau sudah habis opsinya paling ke Jakarta dulu. Tapi males pisan yaa perjalanan ke Jakarta-nya itu. Dan harga tiket Bandung-Padang itu pun sama aja dengan Jakarta-Padang, ckckck.

Opsi lain ambil penerbangan ke Pekanbaru, harganya lebih murah dibanding ke Padang. Tapi males juga ya mesti nyambung travel dari Pekanbaru lagi. Opsi lebih murah, ambil jalur darat. Tapi karena pertimbangan waktu kami belum mau ambil jalur darat, perjalanannya bisa makan waktu 2 hari soalnya. Pengen nyoba juga sih kapan-kapan, karena saya belum pernah sama sekali coba jalur darat. Kayaknya seru juga sambil singgah di beberapa kota.

Mengingat harga tiket seperti ini, berikutnya kami ga bakal mudik Lebaran tiap tahun lagi deh. Bisa miskin kk, heuheu.

Terbang ke Padang

Hari mudik pun tiba. Kami berangkat lebih awal ke bandara biar ga telat. Penerbangannya siang, dan demi kenyamanan perjalanan, seperti biasa, Akas disuruh main dulu aja di bandara. Main sepuasnya, ntar cape, di pesawat tinggal tidur deh, hehe. Alhamdulillah berhasil. Pokoke strateginya selalu begitu, dibikin cape dulu sebelum boarding. Dan untungnya rata-rata di bandara sekarang ada playground-nya.

Main di playground bandara Bandung
Baca panduan keselamatan dulu ya sebelum terbang

Sampai di bandara Padang, di dekat tempat pengambilan bagasi ternyata ada penampilan musik tradisional Minangkabau. Ada yang memainkan talempong, bansi, dan gandang. Hoaa, makin berasa nih pulang kampuang-nya. Saya juga kangen dengan suara musik ini, udah lama ga denger, hehe.

Alunan musik khas Minangkabau di bandara Padang

Mencoba Kereta Bandara Minangkabau

Sebelum Ramadhan, adik ipar saya kirim foto naik kereta dari bandara Padang. Wah saya baru tahu kalau di Padang juga ada kereta bandara. Selama ini yang heboh beritanya kan kereta ke bandara Cengkareng aja, hehe. Melihat itu kami bertekad pas mudik mesti coba.

Kami sampai di Padang sekitar jam 5 sore. Keluar dari terminal kedatangan, kami segera mencari stasiun bandara. Ternyata mesti jalan kaki agak jauh, heu. Sebenarnya tidak jauh, hanya saja terasa jauh karena harus melewati tanjakan sambil mendorong koper, lalu turun lagi dengan eskalator. Jadwal kereta berikutnya baru ada jam 17.55, jadi mesti nunggu dulu deh.

Harga tiket kereta sampai ke stasiun terakhir (yakni Stasiun Padang) Rp10.000. Murah bangeeet. Kalau cuma sampai stasiun Tabing tiketnya Rp5.000. Hanya saja masih sedikit yang pakai kereta ini, padahal keretanya nyaman banget.

Interior kereta baru

Saya sempat penasaran kok harga tiketnya murah banget, jauh lebih murah dibanding tiket bus damri atau bus tranex. Apa harga segitu masih harga promo? Ternyata katanya ongkosnya bisa murah karena kereta bandara ini dibangun dengan biaya dari APBN, bukan swasta, makanya bisa murah. Hoo baiklah.

Akas Punya Sepupu

Adik ipar saya yang menikah tahun lalu, tahun ini sudah punya bayi. Lahirnya di bulan Ramadhan. Jadi mengunjungi sepupu Akas ini masuk agenda wajib mudik kali ini. Akhirnya Akas jadi abang. Tapi jangan tanya ya kapan Akas punya adik kandung, hahaha.

Baca juga: Menghadiri Pernikahan Rahayu & Reyhan

Foto bersama sepupu baru

Silaturahmi dan Ziarah

Tahun ini giliran Lebaran pertama kami di Baso. Dan karena keluarga di Padang biasanya udah pada ke tempat keluarga masing-masing di hari pertama itu, sebelum Lebaran kami manfaatkan untuk silaturahmi ke rumah beberapa keluarga suami di Padang.

Selain itu, kami juga ziarah ke makam mama dan papa suami saya. Tiap mudik kami memang menyempatkan diri untuk ziarah ke sana.

Akas juga ikut ziarah

Idul Fitri di Baso

Lebaran di keluarga besar saya sebenarnya paling rame saat malam takbiran, karena kami buka puasa bersama sekaligus bagi-bagi THR. Jadi mayan heboh, hehe.

Paginya kami shalat Ied di Masjid Darul Ihsan Baso. Masjid dekat rumah ini tiap tahun selalu dipake untuk shalat Ied, makanya dulu saya ga kenal dengan shalat Ied di lapangan, hehe. Kali ini Akas diajak, ikut sama ayahnya, alhamdulillah kooperatif. Tapi pas khutbah dia ketiduran, masih pengen tidur kayaknya, hehe.

Suasana saat khutbah

Siangnya kami ikut silaturahmi ke rumah sanak saudara. Akhirnya ikutan lagi, dulu-dulu saya masih belum berani bawa Akas jadi memilih di rumah aja, heuheu. Dan kali ini entah kenapa males banget foto-foto, jadi ga punya foto keluarga milik sendiri sama sekali. Adanya cuma ini, itupun karena difotoin tante saya, saat silaturahmi pula, wkwk.

Foto Lebaran seadanya, haha

Kelok 44 dan Pariaman

Hari kedua Lebaran, giliran kami ke Padang. Tapi kami mampir ke Pariaman dulu, ke tempat keluarga dari suami adik saya. Kami memang belum pernah ke sana, dan adik saya tahun ini juga Lebaran di sana. Orang tua saya juga ikut, selain silaturahmi, nanti mereka mau meneruskan perjalanan ke Pesisir Selatan, ke kampung papa saya.

Saya baru tahu kalau Pariaman itu luas, pantas ada istilah Piaman Laweh (= Pariaman Luas). Suami saya juga berasal dari Pariaman, tapi kampungnya itu lebih dekat ke Kota Padang. Sementara kampung suami adik saya ini letaknya lebih dekat ke Lubuk Basung, ibukota Kab. Agam, kabupaten tempat saya tinggal. Jadi untuk menuju ke sana kami mesti melewati Kelok 44 dan Danau Maninjau.

Kami sempat berhenti di rest area Kelok 37, sekalian makan dan menikmati pemandangan Danau Maninjau. Udah lama banget saya ga ke daerah sana. Dan pemandangan di Sumatra Barat akan selalu menyegarkan mata kami.

Danau Maninjau dilihat dari Kelok 37

Dari Pariaman kami melanjutkan perjalanan ke Padang, silaturahmi lagi, dan baru selesai malam. Rasanya cape banget setelah perjalanan darat seharian. Orang tua saya tadinya kami minta istirahat dulu aja di Padang, soalnya udah cape kan, dan jalan ke Pesisir Selatan itu lumayan menantang, berbelok-belok dan sepertinya ga banyak penerangan, heu. Tapi papa saya kekeuh berangkat malam itu juga. Ya sudahlah. Mereka sampai di sana tengah malam, alhamdulillah baik-baik aja.

Kembali ke Bandung

Akhirnya tiba juga saatnya mesti kembali ke Bandung. Kalau ditanya rasanya, tentu belum puas, karena terlalu sebentar dan semua waktu murni untuk berkumpul dengan keluarga aja. Pengen jalan-jalan ga bisa, hehe. Tapi yaa disyukuri aja, alhamdulillah masih bisa mudik. Tahun depan belum tahu bakal Lebaran di mana, hihi.

Salam,

Reisha Humaira

Leave your comment