Persiapan Pernikahan E♡R: Pakaian Anak Daro dan Marapulai
Di Minangkabau, pengantin perempuan disebut anak daro, sementara pengantin laki-laki disebut marapulai. Di hari baralek (perhelatan, resepsi), mereka memakai pakaian pengantin khas Minangkabau yang rasanya sudah cukup dikenal bentuknya oleh masyarakat Indonesia. Tapi mungkin belum banyak yang tahu bahwa ada makna di balik pakaian tsb. Saya juga tahu lebih banyak karena browsing bahan untuk tulisan ini sih, haha.
Daftar Isi Tulisan Ini
Suntiang
Kalau lihat pakaian pengantin Minang, yang langsung menarik perhatian itu biasanya hiasan di kepala anak daro, yang langsung bikin orang ngomong “yang di kepala itu berapa berat?”. Haha. Benda itulah yang dinamakan suntiang. Suntiang yang biasa ditemui adalah yang berbentuk setengah lingkaran, namanya Suntiang Gadang atau Suntiang Kambang. Tapi itu sebenarnya hanya salah satu bentuk hiasan kepala anak daro saja.
Ada beberapa macam bentuk suntiang lainnya, khas masing-masing daerah di Sumatra Barat. Ada Suntiang Pisang Saparak (dari Solok Salayo), Suntiang Pinang Bararak (dari Koto nan Godang Payakumbuah), Suntiang Mangkuto (dari Sungayang), dll. Ada juga hiasan kepala anak daro yang bukan berupa suntiang. Misalnya Tikuluak Tanduak (dari Lintau Buo) yang bentuknya seperti gonjong rumah gadang dan Tikuluak Talakuang (dari Koto Gadang) yang cuma berupa selendang. Info lebih lengkap bisa dibaca di tulisan ini atau ini.
Suntiang biasanya warna utamanya emas atau perak, kadang diberi aksen warna lain juga. Tapi yang warna emas lebih sering dipilih orang. Saya sendiri juga lebih suka warna emas, lebih mewah kesannya. Medali aja bagusan medali emas kan daripada medali perak? Hehe.
Zaman dulu suntiang ditancapkan satu per satu ke rambut anak daro, jadi seperti pasang konde tapi kondenya ada banyak banget hingga jadi berbentuk suntiang. Tapi sekarang suntiang dibuat seperti bando, jadi tinggal ditaruh dan diikat di atas kepala. Seiring berkembangnya zaman, bentuk suntiang pun makin bervariasi. Ada yang dikecilin ukurannya, ada juga yang dibuat berbentuk gonjong rumah gadang. Kalau yang seperti gonjong ini sih saya pribadi ga suka, asa aneh aja liatnya, walau udah cukup banyak teman saya yang pakai. 😛
Suntiang memang biasanya langsung diasosiasikan dengan kata “berat”. Wajar sih soalnya biasanya terbuat dari lempengan logam. Tapi logam suntiang zaman sekarang udah lebih ringan lho daripada suntiang zaman dulu. Kalau ditanya, ada ga suntiang yang ringan? Jawabannya ada! Suntiangnya tidak pake logam, tapi pake bahan dari plastik, kayak bahan payet gitu. Waktu saya ke pihak pelaminan, mereka punya suntiang yang ringan ini. Dan waktu saya coba angkat, beneran deh jauuuh banget ringannya. Tapi menurut saya warna emasnya ga oke banget, cenderung kuning. Bagusan warna yang logam.
Dibalik beratnya suntiang, bisa dibilang itu melambangkan beratnya beban dan tanggung jawab yang akan dipikul si pengantin wanita dalam perjalanan hidupnya sebagai istri dan ibu kelak. Latihan dulu menanggung bebannya saat jadi anak daro, hehehe.
Pakaian Anak Daro
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Busana pengantin pun menyesuaikan falsafah tersebut. Unsur utama dalam pakaian anak daro adalah baju kuruang (atasan) dan kodek (bawahan). Atribut lainnya berupa perhiasan seperti kalung dan gelang.
Baju kuruang adalah baju yang longgar dan panjang sehingga menutupi aurat wanita dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Baju kuruang ini diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga-bunga yang disebut tabua (tabur). Baju kuruang melambangkan bahwa sebagai calon ibu, ia terkurung oleh undang-undang yang sesuai dengan agama Islam dan adat Minangkabau. Hiasan tabur melambangkan kekayaan alam Minangkabau.
Sebagai bawahan baju kuruang, digunakan kodek. Kodek bisa dibilang pengganti rok. Kodek berupa sarung yang terbuat dari songket ataupun bahan yang sama dengan bahan baju kuruang anak daro.
Berbeda dengan kebaya yang dijahitkan ngepas badan (sehingga perlu ada sesi fitting dulu untuk ngepasin ukuran kebaya), baju kuruang anak daro biasanya dibuat berukuran besar, sehingga bisa mengakomodasi yang bertubuh kurus hingga berisi. Ga perlu pake fitting segala. Tapi anak daro ga bakal keliatan make pakaian yang kegedean kok, soalnya di luar baju kuruang itu ada lagi kain seperti rompi atau ikat pinggang yang diikatkan ke pinggang belakang. Lalu ada lagi kain hiasan untuk bahu. Jadi walaupun diikatkan ke pinggang, bajunya tetap tidak terlalu membentuk tubuh karena berlapis-lapis tsb.
Zaman sekarang makin banyak kreasi pakaian anak daro atas nama “modern”. Ada yang baju kuruangnya dilengkapi dengan ekor panjang, ada yang berupa gaun. Ada juga yang pakai kebaya sehingga bajunya ngepas di badan. Saya kurang suka lihat anak daro pakai suntiang, tapi bajunya kebaya. Ga cocok, esensi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah-nya hilang sudah. Apalagi kalau ada yang seenaknya pakai kebaya seksi dengan belahan dada rendah, trus pake suntiang, benci banget saya liatnya. 😛
Pakaian Marapulai
Pakaian marapulai biasanya berupa pakaian kebesaran adat yang dipakai oleh penghulu (pemimpin adat). Kelengkapan pakaiannya antara lain: deta/saluak (penutup kepala), baju gadang basiba (baju), sarawa (celana), serong/sisampiang (kain samping), karih (keris), dan tungkek (tongkat). Namun beda daerah berbeda juga bentuk kelengkapannya. Info lebih lengkap bisa baca di sini.
Dengan memakai pakaian kebesaran pemimpin adat tersebut, terkandung makna bahwa sejak saat itu marapulai mulai memikul tanggung jawab sebagai pemimpin dalam hidupnya, minimal sebagai pemimpin rumah tangga untuk istri dan anak-anaknya.
Seperti halnya pakaian anak daro, pakaian marapulai pun banyak versi “modern”-nya. Ada yang seperti beskap, ada yang seperti jas, dll. Tapi saya no komen sih, soalnya pakaian cowo biasanya ga aneh-aneh, hehe.
Pakaian Baralek Kami
Dulu saya suka banget liatin foto-foto pakaian anak daro dan marapulai teman-teman saya di FB sambil ngebayangin kapan ya giliran saya pake baju itu, haha. Akhirnya tiba juga saatnya giliran saya. 😀
Baju pengantin Minang biasanya memakai warna-warna khas busana tradisional Minangkabau, seperti merah, kuning, hitam, dan oranye. Tapi sekarang pilihan warnanya lebih bervariasi. Segala macam warna ada kayaknya, hehe.
Evan jauh lebih duluan daripada saya memilih pakaian untuk resepsi di Padang. Karena resepsi Padang tanggung jawab keluarga Evan, maka pemilihan warna pun saya serahkan saja sama Evan. Evan udah ke pihak pelaminan di Padang tanggal 17 September 2013. Pakaian yang dipilih Evan berwarna putih. Untuk suntiang, Evan sempat nanya ke saya sih mau pilih yang mana, mau model lama/klasik atau yang modern. Saya lebih sreg dengan yang klasik.
Berbeda dengan Evan yang cuma pilih satu baju, untuk resepsi di Baso saya pilih 3 baju, haha. Sebenarnya milih sampai 3 karena acara baralek di kampung bisa dari pagi/siang sampai malam hari. Jadi mending ada variasi, hehe.
Kalau make 2-3 baju dalam sehari resepsi, biasanya orang-orang milih beberapa tipe pakaian, misalnya awalnya pakai yang model tradisional, setelah itu pakai yang model modern. Suntiang-nya pun diganti dari yang awalnya suntiang gadang, ganti dengan suntiang yang modern atau yang ukurannya lebih kecil. Tak jarang juga di akhir anak daronya pakai kebaya atau gaun saja karena ga kuat atau ga mau pakai suntiang lama-lama.
Saya dari dulu malah ga pengen pakai pakaian yang versi modern untuk variasi. Seperti yang saya bilang sebelumnya, kalau model kebaya saya ga suka. Yang model gaun pun kadang bajunya ngepas gitu, sementara saya kan ga nyaman dengan itu. Kalau milih pake yang baju kuruang saya ada jaminan bajunya ga bakal ngebentuk tubuh.
Dengan demikian, saya milih variasi di warna baju aja. Gantian saya yang nentuin warnanya. Warna merah bisa dibilang warna pakaian pengantin Minang yang paling mainstream, sampai-sampai baralek itu diistilahkan dengan “wisuda baju merah”. Saya biasa anti mainstream, tapi untuk baralek rasanya kurang afdal kalau ga ada baju warna merahnya, hehe. Selain merah, saya juga suka kombinasi hitam-emas, jadi saya juga pilih hitam. Pilihan satu lagi akhirnya jatuh ke warna hijau, disebutnya hijau kumbang jati karena warnanya menyerupai kumbang kecil berwarna hijau mengkilat yang hidup di pohon.
Mama udah request 3 warna ini ke pihak pelaminan dari lama, tapi saya sendiri baru lihat bajunya tanggal 26 Desember 2013. Deket banget dengan hari H, haha. Tapi untungnya saya suka dengan baju dan suntiang yang tersedia di sana.
Untuk suntiang-nya, Evan dulu pernah nyaranin saya agar ga pake suntiang terus, daripada ntar mukanya malah meringis menahan berat. Tapi ya gimana, tekad saya udah kuat untuk pakai suntiang walau risiko berat menghadang. Dan saya merasa kalau ga pake suntiang itu ga berasa jadi anak daro, haha. Tadinya kepikiran pakai suntiang gadang yang berbeda aja, hingga mamak saya ngusulin untuk pakai suntiang pisang saparak khas Solok itu juga. Wah ide bagus. Akhirnya saya pilih suntiang Solok itu untuk baju warna hitam, sementara baju merah dan hijau pakai suntiang gadang yang sama.
Final Look
Di resepsi Baso, kami pertama kali pakai warna merah. Baju yang warna merah ini ada tambahan ekor panjangnya. Ga nyatu dengan baju, tapi terpisah dan diikatkan di pinggang. Kalau di foto bagus sih emang ada ekornya, tapi ngerepotin, haha. Kalau jalan mesti dipegangin, ga bisa jalan dengan leluasa. Pas foto-foto dengan tamu rada mengganggu juga.
Setelah merah, kami ganti ke warna hijau, lalu terakhir hitam. Yang hijau dan hitam ini ga pake ekor dan saya merasa lebih nyaman, haha.
Di resepsi Padang, pakaiannya cuma satu. Saya juga suka warna bajunya dan jarang-jarang rasanya liat baju anak daro warna putih. Kalau krem sih sering liat.
Salam,