Membahas Perkembangan Akas Umur 3 Tahun dengan Psikolog Daycare

Akas mulai masuk daycare setiap hari sejak saya bekerja lagi. Di daycare Akas, ada jadwal konsultasi dengan psikolog setiap 6 bulan, di samping terima report perkembangannya selama 6 bulan tersebut. Akas sebenarnya bergabung di akhir term, tepatnya bulan Mei, sementara term baru akan dimulai pada bulan Juli. Oleh karena itu, di akhir term berjalan, Akas ga kebagian report soalnya baru sebulanan kan di sana. Tapi alhamdulillah masih kebagian sesi untuk konsultasi dengan psikolognya pada tanggal 29 Juni 2018.

Hari itu adalah kali pertama saya konsultasi dengan psikolog sepanjang saya hidup, huehe. Ga punya clue bakal ngobrolin apa aja. Cuma tahu satu sesi konsultasi diberi waktu 20 menit. Dipikir-pikir untung juga ya Akas masuk daycare jadi bisa konsultasi dengan psikolog, kalau ga kayaknya ga bakal pernah sih menyengajakan diri ke psikolog, heuheu.

Awal konsultasi, kakak pendamping Akas menyampaikan beberapa hal terkait perkembangan selama di sana. Tapi karena masih sedikit yang bisa disampaikan, sebagian besar waktu dipakai untuk tanya jawab aja.

Berikut beberapa hal yang bisa saya catat tentang Akas di usia 3 tahun dan pandangan psikolognya untuk anak umur segitu pada umumnya. Oia mari kita sebut saja psikolognya dengan Kak D biar lebih singkat nulisnya, kekeke.

Kemunduran Toilet Training?

Walau Akas sudah saya nyatakan lulus toilet training sejak umur 2.5 tahun, rupanya di daycare masih ada kejadian ngompol beberapa kali. Memang sih beberapa kali pakaian yang dipakai Akas di daycare kembali dalam keadaan basah karena ompol.

Baca juga: Cerita Toilet Training Akas (2): Proses dan Lesson Learned

Tapi saya santai aja, ga pernah menganggap itu sebagai kemunduran toilet training Akas. Mungkin sebelum tidur dia lupa diajak pipis dulu, sehingga pas tidur atau kebangun udah ga kuat nahan. Atau mungkin lagi asyik main trus kebelet tapi udah ga keburu ke toilet. Kalau di rumah kan bisa lebih sering diingatkan untuk ke toilet.

Dan memang sejalan dengan apa yang dibilang Kak D. Katanya kalau ngompol gitu bukan berarti si anak udah lupa seperti apa rasanya kebelet, tapi dia mencoba menahan pipisnya hanya saja dia masih belum tahu timing yang tepat, selama apa sih dia bisa menahan dan kapan sih dia seharusnya segera ke toilet.

Sip lah kalau begitu. Ngapain juga distresin kan, toh masih 3 tahun ini, masih wajar kalau ada accident ngompol, hehe.

Defense Mechanism

Sejak usia 3 tahun ini kami merasa Akas itu sering membantah. Gimana ya. Misal disuruh beresin mainan ga mau, ada aja alasannya. Kok kesannya negatif banget ya, anak sekecil itu ga nurut sama orang tua, eaaa.

Menurut Kak D, itu tahap perkembangan yang wajar pada usia segitu. Anak sudah bisa membantah atau melawan, artinya dia sudah punya defense mechanism, justru bagus. Perlu khawatir malah kalau anak kecil itu selalu nurut. Kenapa? Karena artinya di situ ada proses berpikir.

Anak dibilangin atau disuruh melakukan sesuatu, dia berpikir, trus dia menyatakan pendapatnya yang mungkin terkesan membantah apa yang kita bilangin. Dia berpikir, artinya dia belajar hal baru. Dan ini justru jadi kesempatan buat kita untuk mengajarkan anak hal baru.

Kebiasaan kita (kita? anggap aja saya cari temen, wkwk), ketika anak membantah, kita nanya ke anak “kenapa kamu blablabla?”. Sebenarnya ga tepat untuk bertanya “kenapa” kepada anak 3 tahun, karena pertanyaan “kenapa” itu masih abstrak baginya.

Jadi ketimbang bertanya “kenapa”, ganti pertanyaan kita dengan “kamu mau apa?”. Refleksikan ke dirinya dulu. Tak jarang ketika kita sudah berasumsi dia membantah, ga nurut, lalala lilili karena begini begitu, saat ditanya sebenarnya apa sih yang dia mau dan dia pikirkan, jawabannya sungguh di luar perkiraan dan bisa dimengerti.

Saatnya Mandiri

Di umur 3 tahun ini, kami perhatikan Akas itu merasa sudah besar, merasa bisa apa-apa sendiri. Padahal sebenarnya masih belum bisa dan masih sulit lah rasanya buat anak, tapi dia kekeuh mau melakukan sendiri. Tapi begitu ga bisa malah merengek, menangis, atau mengamuk. Huft.

Kata Kak D, bagus itu, berarti perkembangannya sesuai. Dan perkembangan seperti itu berarti waktu yang tepat untuk mengajarkan anak kemandirian. Dia mau apa-apa sendiri, ya kasihlah dia kesempatan untuk mencoba sendiri selama tidak membahayakan. Sudah waktunya dia makan sendiri, tidak disuapi lagi. Sudah waktunya dia bisa membereskan mainannya sendiri setelah bermain. Justru kalau apa-apa selalu kita bantu tanpa ngasih dia kesempatan belajar, lama-lama dia malas belajar lagi dan jadi ketergantungan sama orang lain.

Salah Kaprah Menghadapi Tantrum

Seingat saya tantrum Akas itu lebih dramatis di usia 2 tahun, masa-masa yang dibilang sebagai terrible two sama orang-orang. Umur 3 tahun tantrum masih ada tapi ga sesering dulu dan tantangannya beda lagi. Dulu dia tantrum karena belum kenal emosinya atau belum bisa menyampaikan apa kemauannya, sekarang dia tantrum karena keinginannya tidak dipenuhi.

Dulu saat Akas tantrum, saya menganggap pelukan itu bisa meredakan tantrumnya. And it worked. Tapi lama-lama udah ga mempan lagi. Menurut Kak D, hal seperti itu memang tidak tepat. Itu justru menunjukkan ketidakkonsistenan antara bahasa dan emosi. Anak sedang marah, berarti emosinya negatif. Sementara diberi pelukan adalah hal yang positif. Korelasinya tidak tepat, semacam anak berbuat tidak baik tapi kok diberi hadiah.

Oleh karena itu, saat anak tantrum, sebaiknya kita tunjukkan bahwa itu hal yang tidak baik. Bukan dengan marah-marah ya. Cukup jauhi dulu, jangan dipeluk dulu. Dia mesti minta maaf dulu baru dipeluk.

Anak yang Mengatur-Atur Orang Tua

Agak sering Akas kayak ngatur-ngatur saya. “Ibu duduk di situ”, “ibu ganti bajunya di sana”, “ibu harus pakai baju itu”, “ibu ga boleh ke kamar mandi”, ibu harus begini begitu. Dan kalau tidak saya turuti, dia bakal nangis marah. Heuu.

Yaa sebenarnya hal remeh sih dan masih bisa dituruti, cuma saya ga mau nurutin terus-terusan takutnya dia kebiasaan, atau karena ego saya aja lagi ga mau nurutin. Kadang emosi juga jadinya denger dia ngamuk-ngamuk karena hal yang menurut saya remeh. Tapi menurut saya, sekali diturutin karena ga mau denger dia nangis, berikutnya bisa dia pakai senjata nangis dan ngamuk buat minta yang dia pengen.

Menurut Kak D, memang dalam kondisi seperti itu semuanya jangan langsung dituruti, ada aturan yang harus diikuti. Misal nih saya kalau mau ganti baju ga mau di depan Akas, harus di kamar dengan pintu ditutup. Tapi kadang Akas itu mengatur ga boleh tutup pintu. Ini ga bisa saya turutin karena aturannya begitu.

Tapi, kata Kak D, lihat juga dibalik ngatur-ngaturnya dia tuh ada apa sih? Bisa jadi itu bentuk cari perhatiannya Akas kepada saya, apalagi saya bekerja, waktu sama dia lebih sedikit. Jadi coba luangkan waktu minimal 15 menit saja sehari untuk main sama Akas tanpa distraksi apapun. Kadang mungkin bingung ya mau ngapain, tapi sama anak umur 3 tahun banyak yang bisa dilakukan, bisa main, ngobrol, diskusi, hingga diajak berimajinasi.

Jleb banget sih ini, karena memang sih pulang kerja itu di rumah saya masih harus masak, beberes, cuci piring, dkk. Atau nemenin Akas tapi masih sambil scrolling HP, huhu.

Di sisi lain, ini jadi instrospeksi diri juga buat saya. Anak kan biasanya meniru orang tua ya. Mungkin cara komunikasi saya kepada Akas selama ini kebanyakan gitu, nyuruh-nyuruh, ngatur-ngatur, bukan mengajak, jadi dia gitu juga ke saya. Huhu. Jadi orang tua itu sulit yaa.

Menanamkan Kebiasaan

Anak umur 3 tahun sudah bisa diajak membiasakan sesuatu dan diberikan aturan sederhana. Namun dalam menanamkan kebiasaan ini, orang tua harus mencontohkan dan melakukannya bersama anak, bukan sekadar omongan.

Misal nih, kita mau membiasakan anak untuk membereskan mainannya setelah bermain. Di awal ya kita ajak anak dan mencontohkan mainannya ditaruh di kotak/rak yang sudah disediakan. Bukan cuma nyuruh-nyuruh “setelah main bereskan mainannya ya”, tapi ga memperlihatkan beresin itu seperti apa. Awal-awal mungkin dia menolak, bakal nangis atau tantrum, tapi kita mesti tegas dan konsisten bahwa mainan itu harus dibereskan. Lama-lama dia bakal terbiasa sehingga bisa otomatis melakukan sendiri tanpa disuruh.

Kalau orang tua mau bantu boleh, tapi perhatikan juga kata-kata yang digunakan. Misal jangan bilang “yuk bantu ibu beresin mainan”, karena ini kesannya beresin mainan itu tugas ibu, dan anak cuma bantu. Ganti dengan “kamu beresin mainan ya, ibu bantuin”.

Sekian catatan kali ini, semoga sesuai dengan yang didiskusikan waktu itu. Hihi. Buibu yang punya anak umur 3 tahun, apa aja tantangan yang dihadapi selama ini? Share donks. 😀

Salam,

Reisha Humaira

3 komentar pada “Membahas Perkembangan Akas Umur 3 Tahun dengan Psikolog Daycare

  • 16 Januari 2019 pada 21:15
    Permalink

    Tertarik ketika uni bahas soal anak usia 3 tahun soalnya anakku juga usia 3 tahun. Setelah dulu baca referensi akas mpasinya gimana sekarang baca hasil konsultasi psikolognya. Hehehe. Anakku gak jauh beda sama akas, sudah cukup mandiri untuk melakukan apa apa maunya sendiri, dengan alasan sudah besar. Kadang sebagai orang tua kita yang keliru gak mau dibikin repot, jadinya yaudah mama aja, sini mama aja, nanti hilang, nanti jatoh, nanti kotor. Ini menghambat kreativitas anak bahkan bisa membuat dia kehilangan rasa percaya dirinya. Memang jadi orang tua itu proses belajar. Salah salah masa depan anak yang jadi korban. Semoga kita selalu dituntun Allah dan anak anak kita dijaga Allah. Aamiin

    Balas
  • 29 Januari 2019 pada 02:50
    Permalink

    Halo kak reisha, salam kenal..
    menarik baca postingan2 nya.. bagian ini mirip sekali dg anakku hehe, jd banyak mengangguk-angguk =D
    btw kalo boleh tau daycare nya dimana kah? atau barangkali ada reference list daycare di bandung (eaa ngelunjak) =P

    makasi banyak sebelumnyaaa..

    Balas
  • 17 Februari 2019 pada 00:40
    Permalink

    Ya ampoonnn, saya lupa dulu si sulung saya gimana ya perkembangannya waktu usia 3 tahun?
    kayaknya sih gak terlalu menantang sih ngasuhnya, selain dianya sering sakit2an hahahaha

    Salut banget zaman now banyak ilmu yang bisa kita pelajari untuk mengasuh anak.

    Kalau saya dulu kurang concern di tumbuh kembang dan segala hal psikolog gitu, mungkin karena energi saya lebih dihabisin melindungi si kakak dari penyakit.
    Biar gak rajin bolak balik ke DSA hiks.

    Anak pertama saya dulu tantrumnya gak parah, gimana mau tantrum, lah emaknya ikut-ikutan.
    kalau dia nangis, saya cuekin, kalau dia makin kenceng nangisnya dan kuping saya sakit, baru deh saya ikutan nangis juga.
    Gak sampai 5 menit, dia langsung diam, mungkin kupingnya yang balas sakit denger emaknya cengeng wakakaka.

    Begitu juga dengan tantrum di mall, saya juga ikutan tantrum dan dia kalah hahaha.

    Nah yang kedua ini kayaknya lebih menantang, karena tantrumnya lumayan bikin deg-degan.
    kalau marah dia gulung di lantai dong.
    Dan sebagai emak yang gak mau kalah, anaknya gulung2, emaknya ikutan, dan berhasil, dia langsung berhenti gulung2, mungkin malu liat emaknya gila wakakakak

    Daann yang menantang adalah saat dia tantrum gulung2 di mall.
    Masa iya emaknya kudu ikutan gulung2 di mall juga? wakakakakak

    Balas

Leave your comment