New Zealand Bisa Menekan Penyebaran COVID-19, Bagaimana Caranya?

Sejauh ini, New Zealand tergolong negara bisa menangani pandemi COVID-19 dengan baik. Enam hari terakhir ini, jumlah kasus baru COVID-19 sudah berada di angka satu digit. Total kasus per 24 April ini 1.456. Yang meninggal ada 17 orang dan 1.095 orang sudah dinyatakan sembuh. Dengan demikian kasus aktif tersisa 344.

Sudah 4 minggu pula lockdown berjalan. Dengan melihat data sejauh ini, menurut saya lockdown-nya sudah memberi hasil sesuai harapan. Saya ga berani bilang sukses atau berhasil karena masa depan tiada yang tahu. Saya ga mau takabur, hehe.

Baca juga: Perubahan Kehidupan Sehari-Hari Ketika Lockdown COVID-19 di New Zealand

Penyebaran COVID-19 hingga saat ini bisa ditekan oleh New Zealand. Apakah ini karena lockdown? Menurut saya sih bukan karena lockdown aja ya, melainkan kombinasi banyak hal sejak COVID-19 masih belum menyebar ke seluruh dunia.

Tindakan Preventif Pemerintah New Zealand Terhadap COVID-19

Sejak Januari, pemerintah New Zealand sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi COVID-19. Walau lokasi negaranya di ujung dunia dan relatif masih jauh dari penyebaran COVID-19, pemerintahnya selalu memantau perkembangan wabah ini di seluruh dunia. Tanggal 28 Januari dibentuk National Health Coordination Centre (NHCC). Ministry of Health juga sudah memiliki Pandemic Plan terbaru dan menyatakan siap untuk menghadapi wabah ini.

Awal Februari, orang asing yang terbang dari Tiongkok dilarang masuk ke New Zealand. Pengecualian buat warga negara sini dan permanent resident dan keluarganya, serta mahasiswa yang akan belajar di New Zealand. Pemerintah meminta orang-orang yang datang dari Tiongkok sejak tanggal 2 Februari untuk melakukan self-isolation selama 14 hari. Mereka juga diminta untuk melapor ke nomor Healthline yang sudah disediakan.

Saya masih ingat sekali saat itu di gedung apartemen saya sudah ditempel pengumuman, bahwa siapa yang habis dari Tiongkok atau mengetahui ada tenant yang baru datang dari Tiongkok, harap lapor ke building manager. Di sekolah Akas juga ada pengumuman bahwa yang baru dari Tiongkok diminta untuk self-isolation dan tidak datang ke sekolah dulu selama 14 hari.

Website Ministry of Health sudah berisi berbagai informasi seputar COVID-19. Buat saya yang penting saat itu baca bagian pencegahannya aja, huehe.

Tindakan preventif yang bisa dilakukan menurut website tersebut adalah:

  • Saat batuk atau bersin tutuplah dengan siku atau tisu. Jika menggunakan tisu, langsung buang tisunya ke tempat sampah.
  • Lebih sering cuci tangan pakai sabun, minimal 20 detik.
  • Hindari kontak langsung dengan orang yang sedang sakit.
  • Jangan pegang mata, hidung, dan mulut jika tangan tidak bersih.
  • Jangan berbagi makanan dan alat makan yang sama dengan orang yang sedang sakit.
  • Bersihkan dan disinfeksi permukaan dan benda yang sering dipegang, seperti gagang pintu.
  • Tinggal di rumah jika sedang sakit.
  • Hubungi Healthline 0800 358 5453 jika ada gejala atau habis dari luar negeri atau pernah kontak langsung dengan orang yang positif COVID-19.

Di bus pun sudah dipasang poster tentang pencegahan COVID-19. Walaupun saat itu wabah masih terasa jauuuh sekali, setidaknya orang-orang sudah cukup aware dengan COVID-19 ini.

Penanganan COVID-19 Setelah Ada Kasus Positif di New Zealand

Pemerintah New Zealand mengumumkan kasus positif COVID-19 pertamanya pada tanggal 28 Februari. Kasus pun mulai bertambah, tapi setelah kasus kelima, sempat tidak ada penambahan kasus sama sekali selama 6 hari berturut-turut. Tanggal 11 Maret WHO resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi.

Tanggal 14 Maret muncul kasus keenam, dan Bu PM Jacinda Ardern langsung mengumumkan bahwa siapapun yang datang ke New Zealand, dari manapun asalnya (selain negara pulau-pulau kecil di Pasifik), harus melakukan self-isolation selama 14 hari. Yang tidak patuh akan ditindak. Acara yang melibatkan banyak orang juga mulai dibatasi.

Apakah semua patuh? Oh tentu tidak. Masih ada wisatawan bandel yang tetap jalan-jalan. Pasti ga mau rugi donk ya, udah jauh-jauh ke sini buat wisata, masa kudu mengurung diri.

Tanggal 17 Maret pemerintah mengumumkan COVID-19 Economic Package sebesar $12,1 miliar. Dari dana tersebut, porsi terbesar diberikan untuk wage subsidies, disusul income support dan business tax changes. Dengan adanya pandemi ini memang akan banyak sektor bisnis dan ekonomi yang terdampak, apalagi negara ini sangat mengandalkan pariwisatanya sebagai sumber pemasukan negara.

Tanggal 19 Maret, Bu PM mengumumkan bahwa New Zealand menutup perbatasannya dari siapapun selain warga negara lokal dan permanent resident. Orang asing yang punya student visa ataupun working visa pun sudah tidak boleh masuk. Ini pertama kalinya New Zealand menutup diri dari dunia.

Baca juga: Mengurus Visa New Zealand untuk Pelajar dan Keluarga

Tanggal 21 Maret, Bu PM mengumumkan 4-Level Alert System sebagai panduan untuk melawan COVID-19, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan untuk tiap level. Saat itu New Zealand berada di level 2. Slogan “Unite against COVID-19” pun digunakan. Website covid19.govt.nz juga dirilis.

Tanggal 23 Maret, total kasus COVID-19 mencapai angka 102, dan pemerintah mengumumkan bahwa hari itu New Zealand naik ke level 3, dan akan naik lagi ke level 4 dalam 48 jam ke depan. Saat itu saya sungguh ga nyangka deh bahwa New Zealand ini bakal lockdown secepat itu. Padahal waktu itu angka kasusnya belum banyak, dan itupun kebanyakan masih kasus impor.

Tanggal 25 Maret jam 18.30 pemerintah mengirimkan alert ke setiap ponsel yang ada di New Zealand, bahwa kita akan masuk ke level 4 malam itu jam 23.59. Poin penting dari alert ini adalah:

  • Di mana kita tinggal saat ini, di situlah kita mesti tinggal selama lockdown.
  • Kita hanya boleh kontak langsung dengan orang yang serumah dengan kita.

Sejak lockdown, jumlah kasus COVID-19 terus bertambah, walau penambahan hariannya tidak pernah lebih dari 100. Kapan hasil dari lockdown bakal terlihat? Sebelumnya diperkirakan setelah 2 minggu akan mulai menurun jumlah kasus barunya. Dan benar saja, sejak tanggal 6 April grafiknya mulai menurun.

Warga New Zealand yang baru dari luar negeri dari bandara tidak diperbolehkan langsung pulang ke rumahnya, mesti diisolasi dulu selama 14 hari di tempat yang sudah ditentukan.

Selama lockdown ini mayoritas masyarakat di New Zealand patuh terhadap aturan. Tentu masih ada saja yang bandel dan melanggar, oleh karena itu para polisi juga patroli untuk mengawasi pelaksanaan lockdown.

Hal-Hal Yang bisa Ditiru dari Pemerintah New Zealand dalam Menghadapi Pandemi

Kadang saya merasa New Zealand ini memang negara yang beruntung deh punya kondisi yang bagus saat pandemi COVID-19 ini. Bagus dalam artian, negaranya kecil dan penduduknya tidak begitu banyak, cuma sekitar 5 juta jiwa. Lalu pemerintahnya bagus, rakyatnya juga patuh selama lockdown. Kepatuhan rakyat juga tak lepas dari kepercayaan mereka kepada pemerintah, dan pemerintahnya pun juga memberikan jaminan yang baik buat warganya. 

Ada beberapa hal dari pemerintah New Zealand yang menurut saya layak dijadikan pelajaran untuk ke depannya, baik untuk menghadapi pandemi ataupun hal lainnya.

Langkah Cepat dan Tegas dari Pemerintah

Coba deh perhatikan timeline yang saya ceritain di bagian sebelumnya. Dari sejak baru ada 6 kasus, ke penutupan perbatasan hingga keputusn lockdown, itu cuma makan waktu sekitar 10 hari. Cepet banget. Saya ga ngerti deh emang urusan birokrasinya yang ga ribet atau gimana.

Mungkin juga pemerintahnya memang berpacu dengan waktu mengingat di sini akan menuju musim dingin. Di musim dingin pada kondisi biasa aja udah banyak yang kena influenza, bisa bahaya kalau COVID-19 ini juga dibiarkan.

Kepemimpinan yang Bagus dari PM Jacinda Ardern

Bu Jacinda Ardern ini udah banyak yang memuji deh, silakan googling, huehe. Kepemimpinan beliau dalam menghadapi krisis sudah diuji sejak tahun lalu ketika ada kasus penembakan di Christchurch itu. Saat itu saya belum tahu beliau, tapi begitu mendengar pidato dan sikapnya terhadap kejadian itu, saya kagum sekali.

Di saat pandemi ini pun begitu. Pembawaannya yang tenang dan berempati, tapi juga tegas sangat membantu. Mengutip artikel iniThe Mayfields’ research-based model highlights “direction-giving”, “meaning-making” and “empathy” as the three key things leaders must address to motivate followers to give their best; saya setuju bahwa Bu Jacinda Ardern ini punya ketiga hal tersebut.

Komunikasi yang Jelas dan Mudah Dimengerti kepada Masyarakat

Dalam menyampaikan info, keputusan, dan peraturan selama pandemi ini, saya merasa pemerintahnya selalu memberikan informasi dengan jelas, sederhana, mudah dimengerti, dan ngena di hati #tsaaah. Bu Jacinda Ardern sendiri bisa dibilang komunikator yang baik.

Ga pernah deh di sini diribetkan dengan kebanyakan istilah, trus ga pernah bertolak belakang juga apa yang disampaikan oleh satu pihak dengan pihak lainnya dalam pemerintahan.

Pemerintah yang Terasa Dekat Sekali dengan Rakyat

“You are not alone, you will hear us, and see us daily as we guide New Zealand through this period. It won’t always be perfect, but the principle of what we are doing is the right one.” Begitu kutipan salah satu pidatonya Bu Jacinda Ardern. Meleleh dengernya, rasanya pengen saya bawa ibu ini ke Indonesia, huhu.

Dan itu beneran ga sekadar kata-kata, tiap hari mereka hadir. Senegara disebut “team of 5 million”, dan kerasa warga emang berjuang sama-sama nih dengan pemerintahnya melawan COVID-19. Bu Jacinda Ardern sendiri lumayan sering hadir memberikan update terbaru secara formal di depan media, ditambah live di Facebook-nya secara informal menjawab pertanyaan yang banyak ditanyakan warga. Kapan lagi coba lihat pemimpin negara live cuma pakai sweater rumahan dan posisi duduknya juga santai banget.

Keputusan yang Mempertimbangkan Berbagai Aspek

Mungkin karena pemerintahnya udah bersiap dari jauh-jauh hari, mereka punya waktu lebih untuk mempertimbangkan segala keputusan yang akan diambil. Salah satu yang kerasa itu subsidi gaji dan soal tempat tinggal.

Dengan lockdown ini jelas banyak yang tidak bisa bekerja, hingga kehilangan pekerjaan. Namun pemerintah memberikan subsidi kepada pelaku bisnis supaya pegawainya tetap bisa digaji walaupun tidak bekerja. Pegawai tidak tetap bahkan yang bukan warga negara sini pun dapet lho.

Tidak hanya itu, pemerintah melarang landlord untuk mengusir orang yang tinggal di properti yang mereka sewakan, karena kalau orang-orang sampai tidak punya tempat tinggal, gimana mereka bisa diam di rumah toh. Pengontrak diberi perpanjangan waktu untuk membayar sewa rumahnya. 

Orang yang Tepat pada Posisi yang Tepat

Selain nama Bu PM, nama Dr. Ashley Bloomfield juga ngetop belakangan ini karena beliaulah yang sering memberikan info update rutin terkait COVID-19. Kayak Pak Achmad Yurianto deh kalau di Indonesia, huehe. Pak Dr. Bloomfield ini background-nya memang di bidang public health dan katanya memang orang yang tepat untuk posisi beliau saat ini. Baca artikel ini aja untuk detailnya, hehe.

Mau Mengakui Kesalahan dan Meminta Maaf

Pemerintah New Zealand juga bukan pemerintah yang sempurna tanpa cela kok. Masih ada kekurangannya.

Misal nih Minister for Health alias Menkesnya, beberapa waktu lalu pernah melanggar aturan lockdown, dengan membawa keluarganya ke pantai yang mayan jauh dari rumahnya. Harusnya berkendara untuk refreshing gini ga boleh. Kesalahan kecil banget menurut saya padahal dan bisa ngeles mah kalau mau. Tapi beliau minta maaf dan mengajukan pengunduran diri, namun ditolak sama Bu PM karena sekarang fokus ke penanganan COVID-19 aja deh, ga usah ditambahin masalah ganti Menkes.

Pak Dr. Bloomfield juga sempat bilang kondisi seorang pasien stabil, lalu diprotes sama keluarganya karena kondisi pasien tersebut sebenarnya kritis. Padahal stabil yang dimaksud beliau itu ga ada perubahan dari kondisi sebelumnya. Kalau ngeles mah bisa aja, tapi beliau minta maaf karena sudah menimbulkan kesalahpahaman. Kalau ada salah, ya ngaku aja salah, dan minta maaf. 

Pemerintah Mendengarkan Saran Para Ahli

Pengambilan keputusan lockdown yang cepat juga tak lepas dari saran para ahli. Menurut modeling dari researcher di The University of Auckland, coronavirus bisa menginfeksi 89% populasi New Zealand dan 80.000 orang bisa meninggal jika pandemi ini tidak ditangani dengan baik. Sementara menurut research paper dari The University of Otago, yang terinfeksi bisa mencapai 64% dan meninggal 14.400 orang. Pemerintah memutuskan untuk lockdown karena mengutamakan keselamatan nyawa warganya. Bahagia ga sih penelitian kampus didengerin gini sama pemerintah?

Baca juga: COVID-19 dan “Buku” Cerita Bergambar Karya Akas Tentang Coronavirus

Pemerintah Mendengarkan Suara Masyarakat

Tidak hanya menemani, pemerintah juga terasa mendengarkan warganya. Saya masih inget deh waktu Facebook Live Bu PM, warga sempat mengeluhkan ada harga komoditas yang jadi naik sejak lockdown. Besoknya di berita udah disinggung, lalu Bu PM kasih email untuk nerima laporan terkait harga barang ini.

Lalu ada juga pertanyaan dari para nakes seputar masker dan APD, besoknya bu PM langsung nunjukin data berapa stok masker dan APD itu, ngasih lihat juga pabrik lokal yang bisa produksi masker.

Bahagia ga sih keluhan rakyat didengar pemerintah? Didengar juga bukan berarti segala kemauan rakyat harus dituruti. Jika memang keputusan pemerintah beda, mereka jelaskan dengan baik argumennya apa.

Apakah pemerintahannya damai tanpa kritik? Oh tentu tidak juga. Ada yang mengkritik pengaruh keputusan lockdown ini terhadap ekonomi, katanya terlalu strict, toh di negara lain ada yang ga se-strict itu tapi juga bisa tuh mengendalikan. Ada yang bilang keputusan lockdown-nya lebay amat, wong kasusnya ga sebanyak yang diprediksi. Ada juga yang bilang tes COVID-19-nya masih kurang banyak dan contact tracing-nya juga belum maksimal. Gitu-gitu deh. Padahal kalau kata saya, mestinya bersyukur ini negara, wkwk. Tapi untungnya mayoritas mendukung dan patuh.

Sekian sekilas pengamatan saya terhadap penanganan COVID-19 di New Zealand ini. Banyak hal baik yang bisa diambil, tapi tentunya negara ini bakal menghadapi tantangan besar juga di bidang ekonomi setelah ini.

27 April jam 23.59 nanti New Zealand akan turun ke level 3. Di level 3 pada dasarnya masih banyak pembatasan, hanya saja sejumlah bisnis sudah boleh buka dengan tetap jaga jarak dan memperhatikan keamanannya. Saya berharap semoga di level 3 nanti warga sini ga jadi santai, amit-amit jangan sampai takabur. 

Salam,

Reisha Humaira

9 komentar pada “New Zealand Bisa Menekan Penyebaran COVID-19, Bagaimana Caranya?

  • 24 April 2020 pada 21:49
    Permalink

    Ternyata, ngga semua warganya juga pada mendukung ya, mak. Jadi inget di USA malah pada demo biar ngga lockdown. Di Indonesia, dilarang mudik malah berbondong-bondong ke kampung. Bingung jadinya. Padahal jumlah korban pun termasuk parah dan banyak

    Balas
    • 25 April 2020 pada 10:52
      Permalink

      Hehe, ga akan ada keputusan pemerintah yang menyenangkan semua pihak memang mak. Jadi banyak-banyakan aja, banyak yang dukung atau banyak yang kontra. USA emang parah banget sih. Tapi di Indonesia ini speechless juga sih karena banyak dilemanya huhu.

      Balas
  • Pingback: New Zealand Bisa Menekan Penyebaran COVID-19, Bagaimana Caranya? – Blogger Perempuan

  • 2 Mei 2020 pada 08:15
    Permalink

    Tulisan yang menarik mba Reisha very nice country , salam kenal ya. #blogwalking hehe

    Balas
    • 5 Mei 2020 pada 23:39
      Permalink

      Halo mba Fafa, salam kenal juga. Terima kasih sudah membaca 🙂

      Balas
    • 5 Mei 2020 pada 23:25
      Permalink

      Hehe, ayo sini mba 😀

      Balas
  • 20 Juni 2020 pada 12:15
    Permalink

    HI mba salam kenal , thanks info nya aku mau tanya dong kira-kira indonesia sudah boleh apply visa holiday blm yah mba?

    Balas
    • 21 Juni 2020 pada 14:25
      Permalink

      Hi mba. Salam kenal juga. Kalau apply visa sih bisa2 aja apply kyknya, tapi ga tahu kapan bisa masuk ke sini. Karena sampai saat ini border masih ditutup, yang bisa masuk cuma NZ citizen atau permanent resident. Turis masih belum boleh masuk. Itu citizen dan PR yg masuk pun mesti karantina dulu 14 hari dan PCR test 2x.

      Balas

Leave your comment