Persiapan Pernikahan E♡R: Panjapuik Marapulai

“Kalau di Minang laki-laki dibeli ya?” Beberapa kali saya pernah ditanyai seperti itu, maksudnya terkait adat pernikahan. Dulu biasanya hanya saya jawab bahwa tradisi seperti itu hanya berlaku di daerah tertentu seperti Pariaman, tidak di seluruh Sumatra Barat. Daerah asal saya tidak kenal tradisi “beli” ini. Saya ga bisa jelasin lebih jauh karena saya tidak paham tentang itu. Saya juga ga mau nge-judge tradisi tersebut (walau sekilas kesannya negatif banget ya) karena saya yakin selalu ada alasan dibalik suatu tradisi di Minangkabau.

Hingga pada akhirnya saat mulai menyiapkan pernikahan, saya keinget bahwa kedua orang tua Evan berasal dari Pariaman, yang artinya Evan adalah orang Pariaman walaupun sudah lama menetap di Padang. Saya jadi rada-rada khawatir juga kalau saya mesti nyediain banyak duit. Apalagi katanya uang “beli” itu tergantung tingkat pendidikan dan pekerjaan juga. Untuk Evan yang lulusan ITB dan kerja di Schlumberger bisa mahal buanget itu pasti. Waduh.

Sebelum masuk ke cerita pengalaman saya, mari kita bahas dulu tentang adat Pariaman yang satu ini.

Bajapuik dalam Adat Pernikahan di Pariaman

Disclaimer: Bagian ini saya tulis berdasarkan referensi dari internet saja, yaitu ([1], [2], [3], dan [4]). Ga ada sumber yang benar-benar resmi, jadi kalau ada yang salah mohon dikoreksi. Saya coba rangkai kalimat saya sendiri. Saya ga mau nulis terlalu panjang juga, kalau mau lebih lengkap silakan baca keempat sumber tersebut, hehe.

Bajapuik (japuik = jemput) adalah salah satu tradisi dalam perkawinan di Minangkabau karena suami (urang sumando) adalah orang datang dalam keluarga perempuan. Di Pariaman, bajapuik diinterpretasikan sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan. Uang ini disebut uang jemputan (uang japuik, pitih panjapuik).

Pada awalnya uang jemputan ini hanya berlaku bagi calon menantu yang bergelar Sutan, Bagindo, atau Sidi. Ketiga gelar tersebut diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah. Papa Evan kebetulan bergelar Sidi.

Setelah acara pernikahan, uang jemputan akan dikembalikan kepada pihak keluarga perempuan. Biasanya diberikan saat pengantin perempuan mengunjungi mertua untuk pertama kali (acara manjalang mintuo/batandang ka rumah mintuo). Nilainya bisa sama atau dilebihkan. Yang dikembalikan ini disebut agiah jalang. Dengan demikian, uang jemputan dan agiah jalang ini mengandung makna saling menghargai antara pihak perempuan dengan pihak laki-laki.

Dalam perkembangannya di Pariaman, muncul lagi yang disebut uang hilang atau uang dapua (dapua = dapur). Berbeda dengan uang jemputan, uang hilang yang diberikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki sepenuhnya jadi milik laki-laki dan tidak dapat dikembalikan. Biasanya uang hilang ini yang jadinya memberatkan pihak perempuan.

Besarnya uang jemputan dan uang hilang ditentukan dari musyawarah dan kesepakatan kedua keluarga. Nilai uang jemputan dipengaruhi oleh status sosial calon mempelai laki-laki, yang di zaman sekarang dilihat dari tingkat pendidikan, pekerjaan, dan jabatan. Semakin tinggi status sosialnya, semakin besar uang jemputannya.

Karena dalam praktiknya uang jemputan dan uang hilang dilakukan bersamaan, perbedaan antara uang jemputan dan uang hilang semakin samar, sehingga masyarakat hanya mengenal uang hilang dalam tradisi bajapuik. Dengan adanya uang jemputan dan uang hilang ini, maka banyak orang luar Pariaman (mungkin juga termasuk orang Pariaman sendiri tapi tidak paham asal-usul bajapuik) menganggap bahwa bila ingin menikahi laki-laki Pariaman, maka harus menjemputnya dengan sejumlah uang alias membeli. Dan malah istilah “beli” ini yang lebih dikenal di luar sana. Padahal tujuan tradisi bajapuik sebenarnya bagus, yakni untuk menghormati laki-laki yang akan menjadi anggota baru keluarga besar sang istri (urang sumando).

Panjapuik Marapulai Saya a.k.a. Evan

Butuh beberapa kali komunikasi antara keluarga saya dan keluarga Evan untuk memastikan soal panjapuik marapulai ini (panjapuik = penjemput, marapulai = mempelai laki-laki). Dalam keluarga besar saya belum ada yang menikah dengan orang Pariaman, jadi yang diketahui cuma sebatas pada apa yang dikatakan orang lain. Banyak “katanya” dan “katanya” yang bikin pusing.

Awalnya mama saya minta saya nanyain dengan jelas ke Evan soal panjapuik ini, apakah memang mesti berupa uang, dan kalau iya jumlahnya berapa. Kalau jumlahnya besar banget (misalnya sampai puluhan juta rupiah), keluarga saya ga mampu nyediain. Kalau jumlahnya tidak besar mungkin keluarga saya bisa mengusahakan.

Evan sebenarnya bukan tipe yang bakal minta macam-macam ke saya. Evan ga bakal mau memberatkan keluarga saya. Namun soal panjapuik ini tergantung kesepakatan keluarga besarnya juga. Kalaupun saya nanti harus menyediakan uang dalam jumlah besar, kata Evan itu masih bisa diakali, di mana uang penjemput yang saya berikan saya “pinjam” dari Evan. Jadi uangnya adalah uang Evan sendiri dan akan saya berikan kepada Evan.

Setelah Evan berunding dengan keluarganya, Evan mengabarkan kepada saya bahwa untuk panjapuik dirinya, Evan hanya minta pakaian sapatagak dari saya. Pakaian sapatagak berarti satu stel pakaian lengkap dari ujung kepala hingga ujung kaki, pakaian yang akan dipakai oleh Evan pada saat akad nikah. Lalu karena buat Evan ia tidaklah dijemput sendirian, melainkan bersama keluarganya, saya juga dimintai kain bahan untuk pakaian seragam keluarganya. Sekaligus bentuk penghargaan saya kepada keluarga Evan. Kalau untuk dua hal ini insya Allah saya dan keluarga bisa memenuhi.

Walau Evan udah jelas-jelas bilang seperti itu, mama saya beberapa kali masih nanyain ke saya, “beneran nih cuma itu? ga ada pake uang?”. Mama saya juga bilang “mungkin di Evan-nya ga masalah ga pake uang, tapi gimana dengan keluarganya? gimana kalau nanti tiba-tiba pas hari H ada yang minta sementara kita ga bawa, bisa bermasalah nanti.” Hauu.

Katanya sih emang ada yang kayak gitu. Awalnya ga minta banyak, tapi pas hari H minta lebih, yang mana bikin pihak perempuan mau ga mau harus memenuhi, kecuali kalau mau pernikahannya ditunda atau dibatalkan karena sang mempelai laki-laki tidak bisa dijapuik.

Berkali-kali juga Evan bilang ke saya bahwa “Evan dijapuik, bukan dibeli. Kalau pakai uang, artinya Evan dibeli. Evan ga bisa dibeli dengan uang. Keluarga Evan ga bakal macam-macam nanti, kalaupun ada nanti Evan yang akan hadapi.” Evan juga nyuruh saya mastiin ke Tante Ta (tante Evan yang sekarang sudah seperti ibu buat Evan) kalau saya masih kurang yakin juga.

Saat pertemuan keluarga di Padang tanggal 13 Agustus 2013, keluarga saya memastikan lagi kepada keluarga Evan soal panjapuik marapulai. Sebelumnya hanya kami komunikasikan via telepon. Panjapuik didetailkan lagi. Jadi untuk prosesi manjapuik marapulai nanti pihak keluarga saya harus menyediakan hal-hal sbb.

  1. Pakaian sapatagak untuk Evan; meliputi peci, jas, kemeja, dasi, pakaian dalam, ikat pinggang, sapu tangan, celana panjang, kaos kaki, dan sepatu. Pakaian ditaruh di atas satu baki, lalu kaos kaki dan sepatu ditaruh di baki terpisah.
  2. Siriah langkok dalam carano; yakni daun sirih disertai pelengkapnya berupa kapur sirih, gambir, dan pinang muda, ditaruh di dalam carano.
  3. Payung hitam; untuk memayungi marapulai nantinya. Yang biasanya dipakai adalah payung panjang (bukan yang bisa dilipat) dan berwarna hitam polos tanpa ada kombinasi warna lain.
  4. Kue-kue atau makanan lainnya (opsional).

Sementara bahan kain untuk keluarga Evan adalah tambahan, dan itu saya berikan dari jauh-jauh hari supaya bisa dijahit terlebih dahulu, bukan dibawa saat manjapuik marapulai. Beberapa kelengkapan pakaian untuk Evan saya beli bersama Evan (ya iya lah, mana tau saya ukurannya yang pas, kekeke).

Soal panjapuik ini kan udah jelas ya dari pertemuan bulan Agustus, dan dipastiin lagi sama keluarga saya di pertemuan bulan September. Tapi ya, dekat-dekat hari H, karena makin banyak ketemu orang kali ya, banyak obrolan orang ke mama saya soal panjapuik ini, terutama soal uangnya. Katanya begini, katanya begitu. Huff. Begitu mama saya curhat ke saya, lalu saya curhat ke Evan, Evan jadi emosi sendiri, hihi. Soalnya udah berulang-ulang gitu kita bahas dari dulu, dan Evan adalah orang yang bakal pegang kata-katanya sendiri.

Lesson learned: Menjelang pernikahan akan banyak faktor eksternal yang mempengaruhi kita, khususnya dari komentar-komentar keluarga, tetangga, ataupun orang lain. Keep calm, keep smile, ga usah terlalu dimasukin ke hati kalo bikin emosi. Kita insya Allah lebih paham kok apa yang kita lakukan ketimbang orang lain.

Dengan demikian, berdasarkan pengalaman saya, adat bajapuik ini dikembalikan kepada kesepakatan kedua keluarga. Bajapuik bukanlah adat nan sabana adat, jadi masih ada kemungkinan dikompromikan. Menikah adalah niat yang mulia, ada baiknya kita tidak memberatkan kedua belah pihak dengan tetek bengek ini itu.

Salam,

Reisha Humaira

Leave your comment