Wisata Jateng: Hari Pertama di Dieng Plateau

Kamis, 23 Januari 2014

Destinasi wisata pertama kami setelah menikah adalah Dataran Tinggi Dieng dan Taman Nasional Komodo. Agak anti mainstream ya untuk ukuran bulan madu, haha. Traveling kami dimulai dengan perjalanan Bandung-Solo sehari sebelumnya dengan kereta Argowilis jam 08.00 WIB. Perjalanan sekitar 8 jam ini kami isi dengan ngobrol dan nonton Sherlock Season 3 yang waktu itu baru banget keluar, hehe.

Baca juga: Persiapan Pernikahan E♡R: The Honeymoon Plan

Sesampainya di Solo Balapan, kami langsung ambil taksi menuju Tune Hotel Solo. Malam harinya kami sempat pergi ke Galabo untuk cari makan malam, tapi waktu itu di sana sepi. Mungkin karena hujan juga.

Tidak banyak hal yang kami nikmati di Solo, lagi pula Solo waktu itu memang cuma kami jadikan tempat persinggahan sebelum jalan-jalan ke Dieng Plateau. Yang jelas kesan kami terhadap Solo saat itu: harga makanan murah, ongkos taksi juga murah (kalau dibandingkan dengan di Bandung, apalagi Balikpapan :D)

Jalan-jalan ke Dieng Plateau dimulai pada hari itu. Kami menggunakan paket wisata 2 hari 1 malam demi kepraktisan dan kenyamanan, hehe. Kami dijemput dengan mobil ke Tune Hotel Solo oleh penyedia tour. Di dalamnya sudah ada mas driver dan mbak guide. Karena waktu itu memang cuma ada kami berdua sebagai peserta tour, jalan-jalannya beneran jadi private tour. 😛

Kami berangkat sekitar jam 7 dari hotel. Waktu itu kami belum sarapan dan akhirnya mampir di salah satu warung soto. Pas lihat harga, lagi-lagi bikin komen “ya ampun harganya murah banget”. 😆

Berikut tempat-tempat yang kami kunjungi di hari pertama kami di Dieng Plateau.

Mie Ongklok Longkrang

Kami baru sampai di Wonosobo sekitar jam 11.30. Ditanya mau makan siang yang berat atau yang sedang. Karena waktu itu belum terlalu lapar, kami pilih yang ga terlalu bikin kenyang aja dan kami pun dibawa Mie Ongklok Longkrang, katanya terkenal di Wonosobo. Tempatnya biasa banget, penampilan makanannya pun ga masuk kategori wow. Tapi recommended on TripAdvisor!

Ini tempat makannya
Direkomendasikan di TripAdvisor

Mie ongklok disajikan bersama sate ayam (atau sapi? lupa :p). Ada gorengan juga untuk cemilan. Minumannya seingat saya standar aja, es jeruk atau teh manis. Untuk rasa, umm, mie dan satenya rada manis, jadi agak ngga sesuai dengan lidah Minang kami. ^^v

Ini mie ongkloknya
Gorengan yang mndampingi

Kompleks Candi Arjuna

Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Kompleks Candi Arjuna. Cuaca saat itu mendung dan berkabut. Katanya di Wonosobo memang sering berkabut. Kami yang sebelumnya memang ga survey sama sekali soal cuaca ya pasrah aja deh nerima keadaan. 😀

Berfoto dengan Candi Arjuna yang berkabut
Gaya bebas

Kompleks Candi Arjuna adalah kompleks candi Hindu terbesar di Dieng. Kalau ga salah, kompleks candi ini jadi salah satu tempat untuk ritual pemotongan rambut gimbal yang terkenal di Dieng. Mungkin lebih menarik ke sana saat ada ritual tsb.

Candi Arjuna

Udara Dieng yang dingin banget sudah terasa di area ini. Saat wudhu pun, airnya kerasa seperti air dari kulkas, brrrr.

Candi Arjuna

Kawah Sikidang

Beres dari Kompleks Candi Arjuna, kami pun dibawa menuju Kawah Sikidang. “Kidang” dalam bahasa Jawa berarti rusa. Kawah Sikidang adalah kawah vulkanik, bau gas belerang sangat kuat di sini, jadi nyamannya di sana memang pake masker. Terdapat kolam lumpur panas di sana dengan lumpur yang menggelegak. Makin dekat ke kolam lumpur ini, bau gas belerang makin kuat lagi.

Asap belerang di Kawah Sikidang
Kolam lumpur panas yang menggelegak

Pemandangan di Kawah Sikidang langsung mengingatkan saya pada Jigokudani (Hell Valley) di Noboribetsu, Hokkaido. Warna tanahnya, bebatuannya, gas belerangnya, mirip! Yang lagi-lagi bikin makin kagum sama Indonesia. Indonesia ga kalah lho dari luar negeri. 😉

Mengingatkan pada Jigokudani
Berfoto di kawah Sikidang

Dieng Plateau Theater

Dari Kawah Sikidang, kami dibawa ke Dieng Plateau Theater. Dieng Plateau Theater adalah teater mini yang memutar film dokumenter tentang proses terbentuknya Dieng Plateau, potensi alam Dieng, tragedi Sinila Dieng, objek wisata menarik di Dieng, serta tradisi dan ritual masyarakat Dieng.

Kenapa fokus ke mawarnya?

Waktu kami ke sana, teaternya sepi banget. Film dokumenternya ga lama-lama amat, tapi sangat memberikan gambaran seputar Dieng.

Kabut semakin tebal

Kabut di sana pun semakin tebal, udara jadi lebih dingin lagi. Waktu ke toilet, airnya udah bukan berasa air kulkas lagi, tapi udah kayak es dari freezer yang dicairin, brrrr…

Dari Dieng Plateau Theater, kami pun kembali ke Wonosobo menuju homestay yang sudah disiapkan oleh penyedia tour untuk menginap malam itu. Awalnya rada heran juga kenapa penginapannya di Wonosobo, padahal perjalanan esok hari ke Bukit Sikunir lumayan juga dari Wonosobo. Tapi belakangan disyukuri aja deh, ga kebayang dinginnya gimana kalo nginapnya di Dieng. 😛

Gardu Pandang Tieng

Dalam perjalanan ke Wonosobo, kami mampir di Gardu Pandang Tieng (berada pada ketinggian sekitar 1.789 mdpl). Gardu Pandang Tieng ini semacam rest area, dan di sana terdapat menara 2 lantai yang bisa digunakan untuk melihat pemandangan Dieng. Katanya sih juga oke untuk lihat sunrise.

Naik ke gardu
Gantian difoto
Pemandangan dari Gardu Pandang Tieng
Perkebunan di Dieng

Di homestay kami menaruh barang dan istirahat sejenak. Kamarnya bener-bener kayak kamar rumahan, nyaman. Air hangat juga tersedia, tapi air hangat sih kayaknya udah jadi hal wajib ya di penginapan di sekitar Dieng, soalnya daerahnya dingin banget, brrrr.

Malamnya kami dibawa makan ke sebuah restoran (lupa namanya apa). Restorannya punya kolam dan saung-saung gitu, dan kami pilih makan di saung. Tadinya mau ajak mas driver dan mbak guide-nya buat makan bareng biar rame gitu, tapi merekanya ga mau. Kayaknya bener-bener mau ngasih privasi buat tamunya. Beres makan balik lagi ke homestay dan langsung istirahat karena esoknya mesti bangun jam 3 pagi.

Cerita hari kedua saya lanjut di postingan berikutnya ya.

Salam,

Reisha Humaira

Leave your comment