Sekilas Tentang Layanan Kesehatan Terkait COVID-19 di New Zealand

Beberapa waktu lalu ketika saya menulis seputar layanan kesehatan di New Zealand, saya kepikiran nambahin dikit terkait penanganan COVID-19 di sana. Kebetulan beberapa hari sebelumnya ada yang nanya ke saya soal gimana COVID-19 di New Zealand. Hanya saja karena udah kepanjangan, jadi saya pisah, hehe.

Dulu ketika awal-awal pandemi saya masih semangat membagikan seperti apa sih penanganan COVID-19 di New Zealand, berharap ada yang bisa ditiru biar di Indonesia juga lebih baik penanganannya. Tapi kalau ditanya sekarang, yaa gimana ya, lelah, heuheu.

Singkat cerita, New Zealand itu lockdown nasional di awal pandemi, dari akhir Maret 2020. Cuma sebulan lockdown total, abis itu udah mulai agak dilonggarkan. Hingga dalam waktu singkat di sana udah bisa hidup normal seperti sebelum ada COVID-19. Yesss, tanpa masker, tanpa perlu jaga jarak. Udah bisa nonton pertandingan rugby dan konser di stadium. Pernah sih Auckland lockdown bentar ketika muncul community case lagi (Agustus 2020), tapi ya cuma Auckland dan ga lama.

Di sisi lain, dari sebelum lockdown itu New Zealand juga udah tutup border dan ga menerima orang asing masuk ke sana. Hingga sekarang, ga tahu sampai kapan. Pengecualian buat para kru film Avatar 2 dulu (karena ini membantu ekonomi), beberapa negara Pasifik, serta Australia (ketika Transtasman bubble dibuka). Warga negaranya yang masuk ke New Zealand pun mesti karantina dulu selama 14 hari.

Baru bulan Agustus lalu New Zealand lockdown nasional lagi, awalnya cuma gara-gara SATU kasus. Bayangin dah mau-maunya satu negara me-lockdown diri HANYA gara-gara SATU kasus COVID-19. Kali ini berbeda karena kasusnya varian Delta. Tahu sendiri lah ya varian Delta ini nyebarnya cepet banget dan bikin kasus COVID-19 di banyak negara naik lagi.

Sepanjang berjalannya pandemi, hal-hal yang menurut saya udah kayak langit dan bumi bedanya di New Zealand dengan di Indonesia yakni sebagai berikut.

Tracing dan Testing yang Sangat Serius

Ketika ditemukan community case baru, pemerintah akan langsung melakukan tracing untuk menemukan siapa saja yang ada kontak dengan si kasus positif. Ga hanya yang kontak erat ya, tapi juga ditelusuri ke tempat-tempat umum yang pernah dikunjungi si kasus positif.

Biasanya pemerintah akan mengumumkan lokasi yang pernah dikunjungi si kasus positif beserta jam-jamnya, sehingga orang bisa tahu dan waspada. Siapapun yang pernah berada di tempat yang sama dengan si kasus positif, diminta untuk segera tes.

Sementara orang-orang yang masuk ke list hasil tracing pemerintah bakal dihubungin satu per satu, mungkin ditanya kondisinya dan diminta melakukan tes.

Dan prosedur seperti itu sudah berlangsung sejak awal pandemi. Gimana ga gemes saya ketika baca berita Indonesia bahwa pemerintah baru menyadari arti penting tracing di pertengahan tahun 2021. 2021! Ampun. Udah 1.5 tahun berlalu, kok kayak lama amat belajarnya.

Testing Hanya dengan PCR

Saat kembali ke Indonesia, saya agak dibingungkan dengan beragamnya tes yang tersedia untuk COVID-19 ini. Dari rapid test, rapid antigen, swab antigen, swab PCR, hingga Genose. OMG. Di New Zealand kalau disebut “tes” itu ya artinya swab PCR, ga ada tes yang lain. PCR kan memang masih jadi gold standard untuk deteksi COVID-19.

Di Indonesia bisa dimaklumi sih sebenarnya tesnya ada banyak, karena biaya dan sumber dayanya masih terbatas untuk PCR, apalagi dengan kasus yang sedemikian banyak. Butuh tes yang biayanya murah dan hasilnya bisa keluar dalam waktu singkat. Sementara di New Zealand yang perlu mereka tes ga sebanyak di Indonesia.

Hanya saja yang disayangkan itu kenapa tes yang false negative-nya tinggi (seperti rapid test dan Genose) masih dipakai di tempat-tempat riskan (kayak untuk naik pesawat, naik kereta). Dibolehin secara resmi pula. Kudu nunggu beberapa minggu dulu baru dihentikan penggunaannya.

Tes dengan hasil false positive menurut saya masih mending ya, karena orangnya pasti bakal tes ulang dengan PCR untuk memastikan lagi. Sementara kalau false negative kan kagak, orang yang positif COVID-19 tapi ga ketahuan itu pasti masih bakal beredar ke mana-mana dan menularkan ke orang lain.

Bergejala? Langsung Tes!

Gejala COVID-19 kan ada banyak banget ya, dari demam, batuk, pilek, hingga sesak napas. Demam dan batuk pun belum tentu COVID-19, tapi di New Zealand kalau ada gejala itu, kita bisa langsung minta tes aja, dan gratis. Jadi bisa tahu lebih awal gejala itu karena COVID-19 atau bukan.

Di Indonesia tak jarang ketika udah ada gejala-gejala seperti itu, masih dikira sakit biasa atau tipes atau DBD, atau disuruh tes darah atau rontgen dulu, kalau udah tampak parah baru deh disuruh PCR. Lumayan panjang prosesnya untuk bisa sampai ke PCR, kecuali kalau mau PCR mandiri ya. Keburu virusnya nyebar ke mana-mana.

Prosedur ketika bergejala langsung tes seperti itu tetap berlaku bahkan ketika di New Zealand sedang tidak ada community case COVID-19 pun. Padahal kalo pakai logika ala Indonesia kan bisa dibilang, buat apa tes toh lagi ga ada community case, ga ada kontak langsung dengan yang positif COVID-19. Tapi justru dengan pengetesan itu mereka bisa dengan cepat menemukan kasus baru.

Isolasi/Karantina Penderita COVID-19

Jauh dari sebelum Indonesia rame dengan isolasi mandiri (isoman), ketika awal-awal ada kasus positif di New Zealand itu, orangnya isolasi mandiri di rumah aja lho kalau tidak bergejala berat. Tidak langsung dibawa ke rumah sakit. Selama orangnya isoman, akan ada nakes yang memantau perkembangan kondisinya gimana.

Yang positif baru dibawa ke rumah sakit jika gejalanya butuh penanganan lebih lanjut. Jadi selama ini para nakes di New Zealand kayaknya belum pernah overload dengan pasien COVID-19.

Mungkin juga diatur memang yang butuh aja yang dibawa ke rumah sakit karena untuk ukuran negara maju, rasio ICU di New Zealand itu tergolong rendah. Jadi kalau rumah sakitnya kepenuhan sama pasien COVID-19, bisa-bisa kolaps dalam waktu singkat.

Barulah belakangan ada kondisi di mana pemerintahnya mengharuskan yang positif untuk diisolasi di fasilitas yang disediakan pemerintah, tidak boleh isolasi di rumah aja. Gara-gara ada yang bandel deh kalo ga salah, heuheu.

Karantina 14 Hari untuk yang Datang dari Luar Negeri

Walau border ditutup, citizen dan permanent resident New Zealand masih boleh masuk ke negaranya. Tapi sebelum masuk, mereka mesti karantina dulu di hotel yang disiapkan pemerintah selama 14 hari itu.

Fasilitas karantina ini biasa disebut Managed Isolation and Quarantine (MIQ). Selama 14 hari di MIQ, dulu tiap orang dites PCR 2x. Saya lupa persisnya sejak kapan, tesnya diubah jadi 3x.

Dulu juga yang make fasilitas MIQ ini ga dikenakan biaya alias gratis. Tapi akhirnya jadi berbayar. Yah tekor juga kali pemerintahnya kalo gratis mulu, hehe. Biayanya gede soalnya, apalagi kalau dirupiahkan, wkwk. Per orang itu katanya minimal tiga ribuan dolar New Zealand. Minimal 30 juta rupiah gitu deh, heuheu.

Ketika saya balik ke Indonesia Februari 2021 lalu, aturan karantinanya cuma 5 hari. Baru ada pengecualian karantina 14 hari khusus yang datang dari India ketika di India lagi meledak kasus COVID-19-nya. Sekarang saya ga tahu aturan karantinanya berapa hari lagi, udah ga nyimak, hehe.

Buat kami yang alhamdulillah sehat-sehat aja sih ini enak banget ya, karena karantina itu pasti membosankan kalau kelamaan, heuheu. Tapi kita ga tahu seberapa banyak yang ternyata baru ketahuan positif setelah beres karantina 5 hari itu. Ga tahu seberapa banyak yang dari luar negeri ini menularkan ke dalam negeri.

Tapi kadang saya juga mikir, yang dari luar negeri ini sih masih mending ya ada dikarantina, sementara yang di dalam negeri kan kayak bebas aja beredar tak terkendali, heuheu.

Program Vaksinasi COVID-19 yang Lambat

Dari tadi Indonesianya bagian menyedihkan mulu ya, wkwk. Kali ini kebalikan. Dibanding New Zealand, Indonesia patut diacungi jempol urusan vaksinasi COVID-19. Di New Zealand itu progres vaksinnya lambat banget, baru mulai dikebut sejak ada kasus varian Delta itu. Sampai sekarang pun yang udah divaksin 2x baru sekitar 25%.

Yaa, kalau dari segi persentase masih gedean New Zealand sih, tapi penduduk New Zealand itu cuma 5 juta orang! Yang eligible untuk vaksin ada 4 juta orang, berarti yang perlu disuntikkan “hanya” 8 juta dosis vaksin. Di Indonesia, alhamdulillah udah 100 juta dosis vaksin ya yang disuntikkan.

Dulu ketika awal-awal vaksin COVID-19 mulai diproduksi, setahu saya New Zealand itu memang belum bisa kebagian, karena vaksinnya tentu lebih diprioritaskan untuk negara-negara yang kasus COVID-19-nya buanyak.

Tapi setelah vaksin mulai banyak, entah kenapa kayak santai aja gitu, ga dikebut-kebut vaksinnya. Dari pemerintahnya pun ga pernah ada penjelasan kenapa lambat. Rencananya memang September ini mau dikebut vaksinnya, biar New Zealand bisa perlahan buka border lagi. Tapi ya apesnya Agustus keburu nyebar varian Delta.

Satu hal yang jelas sejauh ini, di sana pemerintahnya cuma mau pake vaksin Pfizer, ga ada deh tuh vaksin lain kayak Moderna, Astrazeneca, apalagi Sinovac (tosss sini sesama geng Sinovac), heuheu. Jadi mau ga mau ya cuma bisa nunggu stok vaksin Pfizer itu.

Aih panjang juga kan jadinya. Udah ah segitu aja cerita kali ini. Entah tulisan ini ada manfaatnya atau tidak. Kalau ga ada, yah anggap aja tambahan pengetahuan, heuehu.

Salam,

Reisha Humaira

Leave your comment