#RokokHarusMahal, Ikhtiar Kita untuk Melindungi Kelompok Rentan

Walau sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, dua kejadian ini rasanya tidak akan bisa saya lupakan.

Kejadian pertama, waktu itu pagi hari di bulan Ramadhan, saya sedang berjalan di sekitar Simpang Dago, Bandung. Ada seorang pengemis, ibu-ibu pakai kerudung, dan dia mengemis sambil merokok. Sungguh kombinasi yang bikin gagal paham. Pakai kerudung, berarti dia muslim, tapi merokok di tengah hari. Oke lah, mungkin dia memang sedang tidak berpuasa. Tapi, dia mengemis, artinya dia miskin, tapi masih ada uang ya untuk beli rokok.

Kejadian kedua, di dekat kantor walikota Bukittinggi. Saat itu saya sedang mudik dan pengen jalan-jalan ke sana. Kantor walikotanya masih baru, dan lokasinya yang di atas bukit punya daya tarik tersendiri. Ditambah lagi dari sana kita bisa melihat pemandangan Gunung Marapi bersambungan dengan Gunung Singgalang. Kekaguman saya akan tempat itu terganggu karena ada beberapa anak SD yang sedang merokok di situ. Jelas sekali anak SD karena mereka masih pakai seragam SD-nya. Saya bingung karena saat itu sudah agak sore, kok mereka belum pulang, malah jauh-jauh ke situ, untuk merokok pula.

Dari program radio Ruang Publik KBR Minggu lalu saya baru tahu kalau mereka yang saya sebutkan di atas, yakni kelompok miskin dan anak-anak, tergolong kelompok rentan dari bahaya rokok. KBR kali ini menghadirkan narasumber Dr. Abdillah Ahsan (Wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI) dan Dr. Arum Atmawikarta, MPH (Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas). Tema yang diangkat adalah “Jauhkan Kelompok Rentan dari Rokok”, tapi bahasannya ternyata lebih banyak dan luas lagi.

Talkshow bersama para narasumber (Sumber: Facebook Kantor Berita Radio-KBR)

Siapa Saja yang Termasuk Kelompok Rentan?

Rentan berarti peka, mudah merasa, mudah terkena penyakit. Jadi kelompok rentan yang dimaksud di sini adalah kelompok orang yang mudah terkena penyakit atau dampak buruk lainnya dari rokok. Dari aspek kesehatan, maka yang termasuk kelompok rentan ini adalah bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan penderita penyakit tertentu.

Namun lebih luas lagi, yang juga tergolong ke dalam kelompok rentan itu adalah:

  • Kelompok keluarga miskin, yakni yang pendapatannya berada pada kuintil 1 atau 2.
  • Kelompok marginal lainnya, yang tinggal di daerah sulit dan terpencil.
  • Kelompok anak-anak dan remaja, yakni yang berusia di bawah 15 tahun.

Mirisnya, kelompok rentan ini justru jadi kelompok yang konsumsi rokoknya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pengeluaran penduduk miskin untuk rokok ternyata besar sekali. Belanja rokok jadi pengeluaran terbanyak kedua setelah beras. Pengeluaran untuk beras sebesar 22%, untuk rokok sekitar 12-17%. Sementara untuk pendidikan dan kesehatan jauh lebih kecil lagi, cuma sekitar 3% untuk masing-masingnya. Penduduk miskin ini rata-rata mengkonsumsi 11 batang rokok per hari. Mereka lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli rokok ketimbang menyediakan makanan bergizi dan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya. Dan tren ini konsisten sejak tahun 2004 hingga sekarang.

Di sisi lain, prevalensi perokok anak terus meningkat. Di tahun 2013, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa mayoritas para perokok pertama kali merokok pada kelompok usia 15-19 tahun. Namun saat ini kecenderungannya bergeser ke usia yang lebih muda, yaitu kelompok usia 10-14 tahun dan jumlahnya pun meningkat.

Kenapa bisa begitu? Penyebabnya sudah jelas sekali.

  • Harga rokok terlalu murah. Rokok di Indonesia itu sebungkus rata-rata harganya tidak sampai Rp20.000. Dan itupun masih bisa dibeli ketengan dengan harga mulai dari Rp600.
  • Akses terhadap rokok sangat mudah. Rokok bisa dibeli di mana saja, mulai dari penjaja rokok, warung, minimarket, hingga supermarket. Rokok juga bisa dibeli oleh siapa saja, termasuk anak-anak.
  • Iklan, promosi, dan sponsor rokok sangat gencar. Walaupun tidak terang-terangan menampilkan rokok, nyatanya iklan rokok mampu memberikan image bahwa perokok itu bisa mempunyai energi yang kuat, aktif, dan sukses. Iklan rokok juga menampilkan harganya yang murah, bahkan harga per batangnya, sehingga orang makin tertarik membeli.

Dampak Rokok Terhadap Kelompok Rentan

Kenapa sih kita harus melindungi kelompok rentan ini dari rokok? Memang bahayanya apa? Yuk mari kita lihat satu per satu.

Dampak Terhadap Bayi, Balita, serta Ibu Hamil dan Menyusui

Rokok jelas berbahaya terhadap kesehatan. Dalam rokok terdapat nikotin yang membuat jadi candu. Selain itu juga terdapat TAR. TAR ini bahan untuk membuat aspal, jadi bayangkan saja, kalau merokok berarti paru-parunya ditetesi aspal, pantas saja paru-paru jadi hitam dan rusak. Belum lagi ribuan zat berbahaya lainnya yang tidak ada bagus-bagusnya untuk kesehatan.

Walau bukan perokok aktif, menjadi perokok pasif karena terpapar rokok baik di tempat umum ataupun di rumah sendiri, juga berdampak buruk terhadap kesehatan kelompok rentan. Pada keluarga merokok, tingkat kematian bayi lebih besar. Anak-anaknya juga lebih rentan mengalami stunting. Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa ibu perokok aktif yang hamil dan/atau ibu yang terpapar asap rokok selama kehamilan, berisiko mengalami keguguran spontan, komplikasi pada saat melahirkan, bayi dengan berat badan lahir rendah, bayi menderita cacat bawaan, perkembangan otak terganggu, dan bayi lahir mati.

Dampak Terhadap Kelompok Miskin

Pengeluaran untuk rokok pada keluarga miskin akan mengurangi pengeluaran untuk sektor lain, seperti makanan bergizi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan penting lainnya bagi tumbuh-kembang anak. Masa depan anak mereka dikorbankan, padahal anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa. Keluarga miskin ini juga akan terjebak terus-menerus dalam lingkaran kemiskinan.

Dampak Terhadap Anak-Anak dan Remaja

Anak-anak dan remaja memang sasaran empuk industri rokok. Mereka sangat potensial untuk menjadi konsumen rokok dalam jangka panjang. Kalau sudah terpapar kebiasaan merokok, mereka akan kecanduan, ini akan terbawa terus hingga dewasa dan tua nanti, makin lama makin sulitlah kebiasaan merokok itu dihentikan.

Alhasil beberapa tahun lagi kita akan mendapatkan mereka mengidap berbagai penyakit. Masyarakat kita mayoritas jadi warga yang tidak sehat. Kematian dini (di bawah 60 tahun) terus meningkat, dan mayoritas disebabkan oleh penyakit yang timbul akibat konsumsi tembakau.

Pengendalian Rokok vs. Pendapatan Negara, Dilemakah?

Pemerintah adalah pengemban amanah konstitusi dan konstitusi mengamanahkan agar konsumsi rokok dikendalikan alias dikurangi. Landasannya sudah jelas, di antaranya:

  • UUD 1945, bahwa setiap orang memiliki hak asasi ntuk mendapatkan udara yang sehat.
  • UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, bahwa cukai ditujukan mengendalikan konsumsi, termasuk konsumsi rokok.
  • UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, bahwa tembakau dan produk tembakau seperti rokok adalah barang adiktif dan harus dikurangi konsumsinya.

Sejauh ini, pemerintah masih tampak tidak pede untuk mengendalikan rokok. Ada beberapa hal yang terasa tidak pas dan tidak sesuai dengan harapan kita agar konsumsi rokok diturunkan, seperti:

  • Iklan rokok masih diperbolehkan tayang di televisi, sementara sudah banyak negara yang melarang penayangan iklan rokok. Di Kawasan Tanpa Rokok pun kita masih sering menjumpai iklan rokok. Padahal kalau iklan rokok ini dilarang, tidak akan ada masalah. Banyak kota yang sudah melarang iklan rokok dan PAD-nya lebih tinggi. Spot iklan rokok bisa kok digantikan oleh iklan barang lain.
  • Negara masih mengandalkan cukai rokok sebagai sumber penerimaan negara. Padahal perlu diingat bahwa cukai itu tujuannya untuk membatasi, untuk membebani perokok supaya berhenti merokok. Tapi saat diharapkan untuk jadi sumber pendapatan negara, kesannya penjualan rokok justru harus ditingkatkan agar cukai rokok yang diperoleh makin besar lagi. Harusnya aspek pengendalian itu jauh lebih kuat dari aspek penerimaan negara.

Bagaimana dengan Pertumbuhan Ekonomi?

Kalau begitu, apakah pengendalian rokok nanti justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi? Kita perlu mengingatkan pemerintah lagi bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh diserahkan pada industri yang menyakiti paru-paru. Yakinlah bahwa mengendalikan konsumsi rokok akan membuat masyarakat jadi sehat, dan ini berguna bagi perekonomian. Perekonomian harus tumbuh berkualitas dan dilandasi oleh masyarakat yang sehat.

Pekerja yang merokok itu produktivitasnya lebih rendah dibanding yang tidak merokok. Kenapa? Saat sehat mereka butuh waktu untuk merokok. Waktu yang seharusnya bisa dugunakan untuk bekerja malah terbuang jadi asap rokok. Lalu kalau mereka sudah sakit, mereka tidak bisa bekerja lagi.

Ekonomi Indonesia akan bagus output-nya saat masyarakat sehat. Masyarakat yang sehat itu panjang umur dan produktif, ini akan menambah GDP. Pemerintah harus kreatif mencari sumber pertumbuhan ekonomi yang sehat, bukan bergantung pada cukai rokok.

Bagaimana dengan Buruh Industri Rokok dan Petani Tembakau?

Kalau konsumsi rokok turun, maka produksi rokok juga akan turun. Ada yang beranggapan bahwa ini juga akan membuat tenaga kerja di sektor rokok menurun. Ini tidak sepenuhnya benar. Ingat bahwa rokok itu ada yang dibuat dengan mesin, juga ada yang dibuat dengan tangan. Yang menyerap tenaga kerja jelas rokok buatan tangan. Faktanya, industri rokok justru merumahkan ribuan buruhnya demi mengejar efisiensi, beralih dari tenaga manusia ke mesin produksi yang lebih canggih. Kehidupan buruh itu tidak akan membaik, sebaliknya pemilik industri rokoknya makin kaya raya.

Sementara itu, petani tembakau juga seringkali mendapati ketidak-adilan. Petani tembakau biasanya tidak punya akses langsung ke pabrik rokok, jadi mereka harus menjual tembakaunya kepada tengkulak dan cukong. Petani sering dicurangi dan mereka tidak dapat untung, malah dirugikan.

Kalaupun memang nasib mereka tergadai karena penurunan konsumsi rokok, mestinya masih bisa dicarikan solusinya bersama-sama oleh berbagai kementerian terkait, seperti Kementerian Pertanian, Perdagangan, Tenaga Kerja, dsb.

Kendalikan Rokok dengan Mekanisme Harga

Untuk mengendalikan rokok, dalam pelaksanaannya di lapangan, ada 3 hal yang bisa dilakukan:

  • Mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok. Ini terutama untuk anak-anak dan remaja, jangan sampai mereka mencoba rokok.
  • Memperkecil akses untuk mendapatkan rokok. Di antaranya dengan membatasi penjualan rokok, tidak boleh menjual rokok kepada anak-anak, tidak boleh menjual rokok dekat sekolah, dll.
  • Membantu orang yang sudah ketagihan rokok. Komunikasikan, bantu, dan dukung mereka untuk berhenti merokok. Jangan budayakan lagi memberi uang sebagai “uang untuk beli rokok”. Kalau masih sulit berhenti, minta mereka untuk tidak merokok di dalam rumah dan tidak merokok di dekat bayi, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Hal-hal di atas juga bisa dibantu dengan mekanisme harga, yakni naikkan cukai rokok setinggi-tingginya sehingga harga rokok jadi mahal, dan tidak boleh dijual ketengan. Dengan rokok mahal, anak-anak tidak akan bisa lagi membeli rokok dengan uang saku mereka. Dengan rokok mahal, keluarga miskin akan berpikir ulang untuk membelanjakan pendapatan mereka yang tidak seberapa, apa iya lebih memilih rokok ketimbang beras.

Di negara lain sudah terbukti bahwa dengan meningkatkan harga rokok sebesar 10% saja, jumlah perokok dari kelompok miskin berkurang sebesar 16%, dan dari kelompok kaya turun 6-7%. Bayangkan kalau naiknya jauh lebih besar lagi. Dengan menurunnya konsumsi rokok, akan lebih banyak lagi manfaat yang kita dapat. Masyarakat akan lebih sehat, uang tidak akan diboroskan.

Sudah lama gencar kampanye #rokokharusmahal #rokok50ribu. Kita perlu dorong terus nih pemerintah agar segera merealisasikannya. Setuju kan kalau harga rokok harus mahal? Hehe. Ikut tandatangani petisinya yuk di change.org/rokokharusmahal. Sudah lebih dari 19.000 orang lho yang tanda tangan.

Perokok itu kadang lucu dan tidak logis ya. Merokok kan artinya membeli barang yang merusak tubuh, asapnya pun juga mengganggu sekitar. Kok ya mau membeli penyakit. Lalu ada juga yang berdalih bahwa perokok itu turut menyumbang pendapatan negara. Padahal kalau tujuannya itu, tinggal rajin bayar pajak aja kok, tubuh sehat, kita pun bisa menyumbang dengan cara yang sehat. Ada juga yang merasa menjadi pahlawan bagi para buruh rokok dan petani tembakau. Lha memangnya kalau si perokok ini sakit, buruh dan petani itu akan peduli?

Jadi, coba dipikir-pikir lagi, apa kebaikan yang didapat dari merokok? Merokok justru malah merusak diri sendiri, juga membahayakan kelompok rentan yang ada di sekitar kita.

Artikel ini diikutkan dalam Serial Lomba Blogger #RokokHarusMahal Episode 8 yang diselenggarakan oleh KBR.id

Salam,

Reisha Humaira

2 komentar pada “#RokokHarusMahal, Ikhtiar Kita untuk Melindungi Kelompok Rentan

  • 29 Agustus 2018 pada 10:38
    Permalink

    Sebenarnya setuju banget rokok harus mahal, tapi dilema sama program beasiswa yang diantaranya terbesar berasal dari penghasilan rokok, hehehe.
    Merokok memang berbahaya bagi kesehatan, dampaknya bagi perokok pasif pun gak kalah bahaya sama perokok aktif. Apalagi untuk kelompok rentan, istilahnya untuk biaya sehari-hari saja sudah pas-pasan, ditambah lagi dengan biaya rokok. Sayangnya banyak perokok yang lebih rela membeli rokok dibandingkan makan siang.

    Balas

Leave your comment