Perubahan Kehidupan Sehari-Hari Ketika Lockdown COVID-19 di New Zealand
Sudah hampir 4 minggu kami yang tinggal di New Zealand menjalani lockdown. Lockdown berarti New Zealand berada pada Level 4, level tertinggi dalam COVID-19 Alert System yang diperkenalkan oleh PM Jacinda Ardern bulan Maret lalu.
New Zealand termasuk salah satu negara yang memberlakukan lockdown lebih awal dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini. Lockdown dimulai pada tanggal 25 Maret 2020 pukul 23.59. Saat itu jumlah kasus positif COVID-19 di New Zealand tidak sampai 200, dan belum ada yang meninggal.
Poin penting saat Alert Level 4 ini antara lain:
- Semua orang harus di rumah, kecuali untuk hal-hal esensial, seperti belanja ke supermarket, membeli obat ke apotek, dan berobat ke dokter.
- Boleh keluar rumah untuk sekadar jalan cari udara segar, jalan dengan anjing peliharaan, atau olahraga, tapi harus tetap berada di area sekitar tempat tinggal dan jaga jarak dengan orang lain.
- Semua tempat umum dan gathering ditutup.
- Semua bisnis tutup, kecuali untuk essential services.
- Semua fasilitas pendidikan (sekolah, kampus, dkk.) tutup.
Dengan pemberlakuan pembatasan seperti itu, tentu saja ada beberapa aspek dalam kehidupan sehari-hari kita yang harus berubah. Tak bisa seperti dulu lagi, huhu.
Tiap orang tentu merasakan dampak yang berbeda selama lockdown ini. Buat kami, perubahan yang kami rasakan selama lockdown ini di antaranya sebagai berikut.
Daftar Isi Tulisan Ini
Auckland Sepi Sekali Saat Lockdown
Di saat lockdown ini, Auckland jadi sangat sepi. Masyarakat New Zealand umumnya patuh, mereka nurut diam di rumah. Jalan raya sepi, hanya bus dan beberapa mobil saja yang sesekali lewat.
Dulu saya pernah cerita, bahwa walaupun Auckland ini adalah wilayah terpadat di New Zealand, Auckland masih kalah padat dibanding kota-kota besar di Indonesia. Sebelumnya saya sudah pernah merasakan Auckland yang lebih sepi dibanding biasa, yakni saat libur akhir tahun. Banyak yang mudik atau pergi liburan soalnya. Jadi sebenarnya pemandangan kota yang sepi bukan hal yang kontras sekali buat saya. Tapi gimana ya, tetap ada perasaan getir deh tiap ke luar dan melihat kota yang lengang ini.
Baca juga: Auckland Itu Seperti Apa? Kenalan Yuk!
Bekerja dan Kuliah Harus dari Rumah
Bekerja dari rumah alias WFH sebenarnya bukan hal yang baru juga buat saya, karena saya udah WFH sejak pindah ke Auckland ini, hehe. Bedanya sekarang, saya ga punya waktu bekerja tanpa Akas lagi karena sekolahnya tutup. Jadi ga selalu bisa kerja nonstop 3-4 jam. Saya menyiasatinya dengan mencicil kerjaan saat Akas bisa main sendiri atau saat dia tidur.
Baca juga: Kerja Remote dari Middle Earth, Seperti Apa Rasanya?
Bedanya lagi, saya jadi benar-benar kerja dari rumah. Kalau dulu saya masih bisa numpang kerja (alias menyusup #eh) di kampus UoA di sebelah sekolah Akas. Lumayan banget ini buat ganti suasana. Kerja jadi fokus juga di sana karena ga kepotong mondar-mandir ambil camilan, ahaha.
Cerita ga jauh beda buat suami, yang harus kuliah dari rumah. Bahkan kampusnya sudah memutuskan akan tetap lanjut dengan perkuliahan online sampai akhir semester ini, walau nanti New Zealand sudah kembali ke Alert Level 1 sekalipun.
Buat suami kuliah dari rumah ini jadi lebih menantang, karena pak suami jadi ga bisa memakai fasilitas kampus lagi di kala ingin fokus belajar, ngerjain tugas, atau tesis misalnya. Tambah lagi ada kuliah yang disukai banget di semester ini dan kerasa kurang seru kalau belajarnya online, hehe.
Tidak Ada Kesibukan Urusan Sekolah Akas
Satu hal yang saya syukuri di sini adalah, saat lockdown ini, sekolah Akas tutup itu sama dengan libur, hoho. Jadi dari sekolahnya ga ada tugas, PR, atau apalah. Paling pernah ada story time aja via Zoom, 2x, itupun cuma dengerin cerita sama nyanyi-nyanyi aja. Ini mungkin juga karena Akas masih level TK ya, ga tahu deh kalau yang anaknya udah SD ke atas.
Yang jelas selama Akas di sekolah aja, kegiatan di sekolahnya lebih banyak main. Jadi saat di rumah aja tentunya by default kegiatannya pun adalah main. Jadi terserah orang tua aja anaknya mau gimana kegiatannya.
Sungguh ini sangat meringankan beban para orang tua. Saya benar-benar ga kebayang kalau harus menjalankan kewajiban dari sekolah seperti yang dialami sebagian orang tua di Indonesia. Yang bikin foto lah, video lah, laporan rutin lah, dan sebagainya.
Saya pun juga terbebas jadinya dari rutinitas antar jemput Akas ke sekolah. Juga rutinitas menyiapkan bekal buat Akas kalau dia masuk Playcentre.
Belanja Tidak Seleluasa Dulu Lagi
Saat berbelanja, physical distancing harus tetap dijalankan. Alhasil belanja pun tidak bisa semerdeka dulu lagi. Hal yang berbeda yang pernah saya alami seperti:
- Belanja di minimarket dibatasi hanya boleh 1 orang yang masuk. Jadi kita harus antre (dengan jarak 1 meter lebih) dan bergantian masuknya.
- Ada minimarket dan toko yang bikin aturan kalau mau masuk mesti pakai masker. Bahkan ada juga yang mengharuskan pakai sarung tangan, entahlah demi apa.
- Belanja di supermarket mesti antre juga masuknya, udah berasa ngantre masuk wahana Dufan, ahaha. Untungnya sih tertib dan ga lama antrenya.
Dulu saya juga biasa belanja ke pasar, karena lebih murah. Tapi sejak heboh COVID-19 ini, bahkan sebelum lockdown pun saya memutuskan untuk stop dulu belanja ke pasarnya, karena di pasar itu rame banget orangnya dan pasti susah jaga jarak.
Tidak Bisa ke Playground dan Library
Dulu rasanya hampir tiap weekend kami keluar, minimal ke playground buat ajak Akas main. Playground di taman-taman sini andalan banget deh karena gratis dan mainannya bervariasi. Kami tinggal pilih aja mau ke playground mana.
Selama lockdown, mainan di playground tidak boleh digunakan, karena bisa aja ada coronavirus yang bertahan di sana. Saya tidak pernah lagi mampir ke taman yang ada playground-nya di sini, kasihan sama Akas ntar kalau dia lihat ada mainan tapi tidak boleh dimainin, huhu. Saya tidak tahu kondisi playground saat ini seperti apa, tapi di berita katanya sih dipasang tanda bahaya.
Library biasanya juga jadi andalan saya untuk meminjam buku-buku anak. Saat lockdown ini semua library tutup, aktivitas peminjaman dan pengembalian buku ditiadakan.
Baca juga: Menikmati Fasilitas Perpustakaan Kota Auckland
Wajib Masak Setiap Hari
Sebenarnya sejak di Auckland ini tu saya udah masak tiap hari juga sih. Bukan rajin, tapi emang keharusan, ahaha. Yaaa demi makanan yang halal dan sesuai selera, dan juga hemat. Bisa miskin kami kalau beli makanan di luar terus, mahal pemirsah!
Namun demikian, sesekali tentu saja kami juga makan di restoran, atau beli makanan siap saji. Dan ini sangat membantu saya kalau lagi malas masak ataupun kangen makanan tertentu. Selama lockdown ini, semua restoran tutup, jadi kami tidak bisa beli makanan dari luar lagi. Mungkin ada jasa food delivery, tapi udah kebayang duluan ongkirnya bakal mahal, jadi ga minat cari tahu, hehe.
Bertambah Peduli pada Kebersihan
Sejak pandemi COVID-19 ini, semua manusia yang ada di muka bumi ini disuruh untuk rajin cuci tangan pakai sabun. Dari dulu sebenarnya saya juga udah sedia sabun cuci tangan di rumah dan cukup rutin cuci tangan pakai sabun.
Bedanya dulu buat saya cuci tangan pakai sabun itu tujuannya untuk menghilangkan bau, apalagi kalau habis cuci piring atau ke toilet. Biar wangi tangannya, ahaha. Tapi sekarang cuci tangannya tujuannya untuk membersihkan dan menghilangkan kuman. Jadi durasi cuci tangannya lebih lama.
Akas alhamdulillah udah terbiasa cuci tangan pakai sabun juga dari dulu. Bahkan dia terbilang lebih rajin. Tiap mau makan atau ngemil, disuruh cuci tangan dulu, pasti pakai sabun. Sementara saya dan ayahnya kadang cuci pakai air aja, ahaha. Akas juga sekarang udah kayak satpam cuci tangan kalau abis dari luar. Dia bakal teriak “CUCI TANGAN DULUUUU!”.
Baca juga: COVID-19 dan “Buku” Cerita Bergambar Karya Akas Tentang Coronavirus
Bus Gratis Tapi Lebih Banyak Kosong
Selama lockdown ini, bus masih beroperasi. Hanya saja jumlah jadwalnya dikurangi. Jumlah penumpang juga dibatasi karena di dalamnya mesti jaga jarak. Naik bus juga digratiskan, walau kita tetap mesti tag on kartu AT HOP saat naik dan turun.
Baca juga: Transportasi Publik di Auckland: Pilihan Kendaraan Umum
Dulu ada deh satu hari di mana ongkos bus digratiskan, lupa dalam rangka apa. Alhasil bus jadi lebih ramai. Kali ini berbeda. Bus malah lebih sering terlihat kosong atau jumlah penumpangnya bisa dihitung dengan jari.
Di satu sisi bagus sih, karena artinya orang-orang memang patuh, ga keluyuran ke mana-mana. Di sisi lain, kadang sedih juga sih lihat pemandangan yang berbeda dari biasanya ini. Bikin makin kerasa bahwa begini tuh ga normal, huhu.
—
Dengan kondisi kami sekarang, sungguh rasanya ga pantas kalau saya sampai mengeluh bosan di rumah, atau sejenisnya. Kondisi seperti ini masih bakal lama, tapi kita ini manusia, makhluk yang bisa beradaptasi. Seiring berjalannya waktu, kita akan terbiasa.
Apa perubahan terbesar buatmu sejak pandemi COVID-19 ini? Share yuk!
Salam,
Wowww… sampai busnya kosong melompong gitu ya 😀
kalau di Indonesia, ya mau nggak mau tetep desak-desakan di bus dan semacamnya.
Apa karena jumlah penduduknya kali ya lebih banyak?
Dan juga udah terbiasa keluar mulu.
Sampai-sampai meski disuruh diam di rumah, keluar juga buat nongkrong.
Orang jarang yang pake masker.
Di minimarket tetep antri umpel-umpelan, yang bikin saya pengen teriak maling gitu (sebel aja antri di kasir suka ndusel)
Semoga virus ini segera berlalu ya, setdaknya bisa ditemukan vaksinnya, segera